FAKTA.COM, Jakarta - Ekonomi global yang tak pasti, dengan tensi tinggi geopolitik, membuat kebijakan moneter dan fiskal memperkuat sinergi. Langkah ini pada akhirnya mendatangkan era suku bunga tinggi.
Kondisi ini terjadi saat Bank Indonesia memutuskan penaikan suku bunga acuan (BI 7 Day Reverse Repo Rate/BI7DRR) ke level 6%, setelah sembilan bulan bertahan di level 5,75%. Terbaru, bank sentral mempertahankan bunga acuan 6% atas hasil keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) 22-23 November 2023.
Menyoal keputusan itu, Gubernur BI, Perry Warjiyo menyampaikan, "Ini sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor (imported inflation), sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3% plus minus 1% pada 2023 dan 2,5% pada 2024," ujarnya.
Bahkan, Perry memberi sinyal potensi kenaikan bunga acuan lebih lanjut sebelum tutup tahun. "Kita harus melihat ke depan ada beberapa risiko, seperti imported inflation yang paling besar. Imported inflation sendiri ada dua, yaitu harga pangan dan energi global serta depresiasi nilai tukar rupiah," kata Perry.
- Inflasi bergerak naik. Keputusan BI menaikkan bunga acuan ternyata sejalan dengan kenaikan secara month to month dari 2,28% per September menjadi 2,56% per Oktober.
- Rupiah terkendali. Untung saja, nilai tukar rupiah berhasil dikendalikan dan menjauh dari level Rp16.000.
- Ruang kenaikan bunga acuan. Potensi kenaikan bunga acuan masih terbuka, terutama jika melihat kondisi inflasi dan nilai tukar rupiah.
Era suku bunga tinggi telah disinggung oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati saat menghadiri agenda Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Amerika Serikat. Sri Mulyani menyebut kondisi ini sebagai higher for longer yang bisa memerosotkan posisi fiskal beberapa negara.
Gambaran itu, bahkan telah menjadi perhatian Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan. Dampak paling nyata, aliran modal asing keluar dari emerging markets ke negara maju dan mendorong penguatan signifikan dolar AS terhadap berbagai mata uang dunia.
Belum lagi dampak pada kenaikan bunga kredit yang bisa menahan laju daya beli dan pertumbuhan industri.
- Keluar dari SBN. Investor asing mulai melepas surat berharga negara (SBN).
- Net sell di pasar saham. Begitu juga di pasar saham yang secara akumulasi pernah mencapai net sell Rp20,1 triliun pada Agustus 2023.
- Ruang ekspansi terbatas. Kenaikan bunga acuan bakal mengerek biaya dana, sehingga ongkos pembiayaan yang ditanggung beberapa pihak menjadi lebih mahal
.
- Laju kredit tertahan. Bagi perbankan, kenaikan bunga acuan juga bakal menghambat laju pertumbuhan kredit yang ditarget bisa double digit.
- Cash is the king. Atas kondisi dan dampak yang terjadi, kemudian muncul fenomena cash is the king yang berarti penempatan dana investor beralih ke aset yang lebih likuid.
Terlepas dari itu semua, masih ada kabar baik bagi kebijakan moneter dan fiskal Indonesia. Terutama jika melihat potensi kenaikan bunga acuan The Fed yang mulai terbatas.
Dari sini, Gubernur BI, Perry menilai, keputusan mempertahankan bunga acuan di level 6% cukup tepat untuk mengelola risiko beberapa waktu ke depan.
Di sisi lain, Menkeu, Sri Mulyani telah menegaskan upaya pemerintah dalam mengoptimalkan APBN sebagai katalisator mempercepat transformasi perekonomian.