Kabinet Gemuk Prabowo dan Tantangan Reformasi Birokrasi

Menteri-menteri Kabinet Merah Putih berfoto di Istana Merdeka. (Foto: ANTARA)
FAKTA.COM, Jakarta - Kabinet Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka diumumkan Minggu (20/10/2024).
Para menteri yang tergabung dalam Kabinet Merah Putih itu pun langsung dilantik, Senin (21/10/2024).
Kabinet ini terbilang paling gemuk sejak Orde Baru hingga era Jokowi. Pasalnya, Kabinet Merah Putih terdiri atas 48 menteri, 56 wakil menteri, dan 5 pejabat setingkat menteri.
Secara total, anggota Kabinet Merah Putih bentukan Prabowo berjumlah 109 orang. Kabinet Prabowo hanya kalah jumlah oleh dua kabinet di era Presiden Soekarno.
Kabinet Dwikora I yang dibentuk pada 27 Agustus 1964 dan berakhir pada 22 Februari 1966, berjumlah 110 orang. Adapun Kabinet Dwikora II pada 24 Februari 1966 hingga 28 Maret 1966, beranggotakan 132 orang.
Kenaikan jumlah menteri yang cukup signifikan ini disebabkan oleh kementerian yang pada awalnya disatukan menjadi dipisah.
Misalnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) dipecah menjadi tiga kementerian berbeda yakni Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah; Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi; serta Kementerian Kebudayaan.
Slimming Down Bureaucracy
Pengamat Politik Unpad Firman Manan mengomentari gemuknya Kabinet Prabowo. Menurut Firman, Kabinet Merah Putih tidak seperti yang terjadi di berbagai negara yang menerapkan slimming down bureaucracy.
"Ada istilah slimming down bureaucracy. Bagaimana kemudian dengan pemahaman, birokrasi yang ramping itu bisa berakselerasi, bergerak dengan cepat dibandingkan birokrasi yang gendut, yang tambun," ujar Firman saat wawancara bersama FAKTA, Senin (21/10/2024).
Firman membandingkan dengan Amerika Serikat yang sama-sama menganut sistem presidensial, tetapi hanya memiliki 15 menteri.
"Sebelumnya bahkan cuma 14. Tapi karena setelah WTC, kejadian teror itu, maka ditambahkan Department of Homeland Security, jadi 15. Di Brasil, setahu saya sekitar 30-an menterinya. Jadi tren di berbagai negara, kabinet itu memang tidak gemuk," jelas Firman.
Menurut Firman, struktur pemerintahan seharusnya dibuat ramping, sebab permasalahan-permasalahan yang ada dapat juga diselesaikan oleh publik.
Hal ini selaras dengan teori pemerintahan modern yang disebut sebagai collaborative governance.
"Pemerintahan modern itu pemahamannya pemerintahan yang kolaboratif, jadi disebut collaborative governance. Jadi tidak semua urusan itu harus oleh pemerintah. Ada urusan-urusan yang bisa dikolaborasikan dengan civil society," pungkas Firman.
Pengamat Politik Prof Muradi mengatakan, banyaknya kementerian di Kabinet Prabowo tak sesuai dengan teori birokrasi.
Presiden Prabowo Subianto saat melantik wakil menteri, Selasa (22/10/2024). (Tangkapan layar YouTube Setpres)
Menurut Muradi, koalisi seharusnya dibentuk oleh kesamaan ideologi, kesamaan tujuan, dan kesamaan program.
"Koalisi itu kan ada tiga fondasi. Fondasi pertama itu kesamaan ideologi, pondasi kedua kesamaan untuk tujuan bersama, dan fondasi ketiga programnya mirip. Nah saya sih nangkap dari ketiganya enggak ada tuh. Ini secara teori birokrasi, teori politik juga enggak bisa," jelas Muradi kepada FAKTA, Senin (21/10/2024).
"Sebenarnya kementerian dibagi-bagi lagi, saya agak pesimis dengan komposisi tersebut. Bukan cuma kepada orang-orangnya tapi juga kepada gemuknya kabinet, karena itu akan menciptakan birokrasi baru kan, delay baru. Sesuatu yang Pak Jokowi hindari," sambung Guru Besar Unpad tersebut.
Gerus APBN
Pakar kebijakan publik, Agus Pambagio mengatakan banyaknya kementerian di Kabinet Merah Putih bisa menggerus dana APBN.
Selain itu, Agus juga mengatakan gemuknya koalisi dalam kabinet menyebabkan ketidakefisiensian birokrasi.
"Nomenklatur berbeda, itu harus diajukan ke PAN-RB. Di situ ajukan anggaran ke Kementerian Keuangan, bolak-balik-bolak-balik terus tujuan DPR. Pengalaman saya melakukan hal itu tiga tahun baru selesai. Belum nanti menaruh jajaran pejabatnya dan seterusnya," ungkap Agus kepada FAKTA, Selasa (22/10/2024).
Agus menekankan pentingnya peran Menteri PAN-RB yang harus membuat nomenklatur untuk efisiensi birokrasi, karena tanpa nomenklatur para penjabat tidak bisa digaji.
"Staf-staf ASN-nya tidak bisa digaji karena nomenklaturnya tidak ada. Untuk itu perjuangan PAN-RB kembali ke DPR, kembali masukin anggaran ke Kementerian Keuangan, kemudian kembali ke DPR dan seterusnya itu lama. Belum lagi nanti penetapan pejabat-pejabatnya, itu juga proses lama," tuturnya.
Sementara pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai bisa terjadi tumpang tindih kewenangan akibat pemecahan kementerian.
"Ada tumpang tindih kewenangan karena masing-masing berebut. Kalau pengalaman yang kemarin pada saat kasus impor pangan itu kan diurus oleh kementerian lebih dari satu. Ada Kementerian Pertanian, ada Bulog, ada Badan Pangan Nasional, bahkan baru lagi ada Badan Gizi Nasional. Impor beras yang bermasalah itu kan karena tarik-menarik antara Bulog dengan Badan Pangan Nasional," terang Trubus.
Bila dibandingkan dengan China yang penduduknya lebih banyak dari Indonesia tetapi punya jumlah menteri kabinet yang lebih sedikit, Kabinet Merah Putih memang merupakan kabinet yang terlalu gemuk.
Pada awalnya, ujar Trubus, kabinet ini seakan mengakomodasi kepentingan mayoritas dengan jumlah menteri yang banyak, tetapi pada akhirnya tidak ada representasi dari daerah-daerah terpencil.
"Tapi kan kenyataannya ada daerah yang sampai hari ini seperti Maluku itu tidak ada yang mewakili. Menteri dari Maluku nggak ada, sementara Maluku itu secara sumber daya alam menyumbangkan banyak kepada pusat, tapi masyarakatnya tetap miskin. Seharusnya Pak Prabowo ketika menyusun kabinet yang diutamakan perwakilan dari daerah-daerah, jangan perwakilan dari partai-partai," pungkas Trubus.