FAKTA.COM, Jakarta - Rencana program pembangunan tiga juta rumah di pemerintahan Prabowo Subianto, dapat kritik keras dari Ekonom INDEF, Andry Satrio. Kritik tersebut disampaikannya atas beberapa aspek pertimbangan.
Apa saja poin-poin kritik yang disampaikannya?
Andry mempertanyakan rasionalisasi jumlah pembangunan rumah yang direncanakan tersebut dengan kebutuhan riilnya. Terutama di pedesaan.
“Menurut saya, ya harus dibalikkan bahwa apakah memang sebanyak itu ya permintaan di desa,” ujar Andry kepada Fakta.com, Jumat (11/10/2024).
Di samping itu, Andry juga mempertanyakan soal UMKM dan Bumdes yang akan dilibatkan sebagai pengembang perumahan di pedesaan, terutama soal standar rumah yang akan dibangun.
“Apakah mereka akan membangun rumah dengan standar yang khusus seperti kita tahu dilakukan oleh pengembang dan menurut saya agak sulit ya karena standarnya pasti akan berbeda-beda, kualitasnya juga akan berbeda-beda satu dengan yang lainnya,” kata Andry menjelaskan.
Kendati demikian, Andry tidak menampik adanya persoalan perumahan di Indonesia. Meski begitu, pendekatan yang diperlukan untuk menyelesaikan persoalan tersebut bukan sekadar membangun rumah saja.
“Angka backlog itu sendiri menurut saya salah satunya supply sih sebetulnya kan ada, tetapi masalah yang terjadi itu adalah masyarakat kelas menengah khususnya mereka sulit untuk mendapatkan dalam hal ini keringanan,” ucap Andry.
Andry bilang, kebijakan yang seharusnya didorong adalah insentif perumahan bagi kelas menengah. Pasalnya, secara demografi kelas menengah jumlahnya sangat besar, tetapi insentif perumahan kepada kelas menengah belum banyak. Menurut Andry, insentif perumahan saat ini lebih banyak dikucurkan untuk kelas di bawahnya.
“Meskipun pengembang masih belum bisa memenuhi banyaknya (permintaan) rumah itu sendir, tetapi permasalahannya bukan ada di sana. Permasalahannya adalah bagaimana agar para pembeli ini juga diberikan kemudahan untuk mendapatkan rumah,” tutur Andry.
“Kelas menengah ini jumlahnya besar dan mereka salah satu kelas yang memang memiliki daya beli yang cukup besar dibandingkan kelas yang ada di bawahnya, tetapi justru kelas di bawahnya yang banyak mendapatkan insentif perumahan ini sendiri,” pungkas Andry.
Seperti diketahui, presiden terpilih Prabowo Subianto memiliki ide besar soal menyelesaikan masalah ketersediaan rumah di Indonesia. Atas alasan tersebut, digagas program pembangunan tiga juta perumahan.
“Saya luruskan, bukan 3 juta (target akhir). Kita mau bikin 3 juta setiap tahun—saya harap pembangunan 3 juta (rumah) setiap tahun," kata Ketua Satgas Perumahan Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo dalam Propertinomic Exclusive Dialogue, Kamis (10/10/2024).
Sekadar informasi, untuk masyarakat yang daya belinya di bawah kelas menengah, pemerintah memiliki program FLPP, yakni dukungan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang pengelolaannya dilaksanakan oleh BP Tapera.
BP Tapera mengungkapkan, sampai 2 Oktober 2024 telah disalurkan program pembiayaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebanyak 161.277 unit rumah senilai Rp19,72 triliun. Sehingga total penyaluran FLPP dari tahun 2010-2024 sebanyak 1.559.856 unit rumah senilai Rp146,37 triliun.
Adapun tahun ini, BP Tapera dapat tambahan target unit rumah dalam progam FLPP. Jumlahnya 34.000 unit.
Menurut Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, penambahan target itu sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 380 Tahun 2024 tentang Perubahan atas KMK Nomor 338 Tahun 2024 tentang Penetapan Rincian Pembiayaan Anggaran pada Sub Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Investasi Pemerintah Tahun Anggaran 2024 pada 3 Oktober 2024.
“Kami sangat bersyukur, surat resmi ini sudah kami terima. Dengan penambahan kuota sebesar 34.000 unit rumah, maka diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan Masyarakat berpenghasilan rendah dalam memenuhi rumah layak huni dan terjangkau,” ujar Heru, Selasa (8/10/2024).
Dengan begitu, target program FLPP tahun 2024 berubah dari 166.000 unit rumah menjadi 200.000 unit rumah.