FAKTA.COM, Jakarta - Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mewanti-wanti sejumlah hal kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) yang ingin mengelola tambang.
Seperti yang diketahui, Presiden Joko Widodo memberikan lampu hijau kepada organisasi kemasyarakatan agar bisa mengelola tambang melalui Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Dua ormas keagamaan besar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah telah sepakat menggunakan izin tersebut.
Ketua Perhapi Rizal Kasli mengingatkan bahwa investasi di pertambangan sarat dengan risiko atau high risk.
"Yang harus dipahami adalah investasi di pertambangan sarat dengan risiko, orang menyebutnya high risk. Namun, kalau berhasil akan high return juga," ujar Rizal Kasli kepada Fakta.
Ia memaparkan, kelayakan suatu proyek ditentukan oleh tiga hal. Pertama, secara teknis feasible untuk dikerjakan dengan dukungan teknologi yang ada.
Kedua, secara komersial dapat memenuhi kriteria investasi seperti Net Present Value (NPV) yang positif, Internal Rate of Return (IRR) yang di atas suku bunga (deposito) plus resiko keuangan lainnya dan jangka waktu pengembalian modal. Ketiga, secara politik dapat diterima.
"Hal ini untuk pusat sudah direstui, namun, di daerah masih perlu pendekatan lagi agar tambang dapat beroperasi dengan baik (lisence to operate)," tutur Rizal.
Ia mengingatkan bahwa kegiatan pertambangan bukan langsung menggali dan menjual seperti yang dipahami atau dibayangkan oleh beberapa orang.
Kegiatan ini harus dimulai dari kegiatan eksplorasi, studi kelayakan, kajian lingkungan, izin lingkungan. Kemudian masa konstruksi juga diperlukan untuk membangun jalan angkut dan sarana prasarana yang diperlukan.
Ini semua membutuhkan dana besar untuk melakukan hal tersebut, serta waktu pengerjaan beberapa tahun. Perlu diingat, kata dia, umumnya daerah relinguishment atau wilayah tambang yang dikembalikan ke negara oleh perusahaan adalah wilayah tambang yang kurang menarik baik secara geologi, teknis, ekonomi dan sosial.
Untuk itu, ia mengingatkan agar ormas keagamaan tetap harus melakukan kajian-kajian dimaksud untuk menjamin modal yang ditanam di proyek tersebut menguntungkan dan bisa kembali sesuai harapan.
Menurutnya hal ini akan berbeda jika ormas-ormas keagamaan hanya sebagai pemegang izin saja.
"Setelah itu serahkan kepada partner atau investor lain untuk mengerjakan semua dan hanya akan mendapatkan fee saja atas IUPK tersebut. Tentu risiko dengan cara seperti ini akan minim sekali," tuturnya.
Untuk pengelolaan tambang yang ramah lingkungan atau operasional pertambangan yang memenuhi kaidah-kaidah pelestarian lingkungan, di Indonesia sudah ada regulasi seperti penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik atau good mining practice (GMP).
Pengelolaan limbah B3, pengelolaan air limpasan, lumpur, reklamasi dan pasca tambang harus dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku untuk menjamin pelestarian lingkungan.
Ia menilai, tentunya NU dan Muhammadiyah sudah menghitung dan mempertimbangkan dampak baik buruknya kebijakan yang diambil, terutama dalam berinvestasi di industri ekstraktif seperti tambang yang sarat dengan komplik kepentingan.
"Di satu sisi ada pengawas dari negara yang diwakili oleh Kementerian ESDM dan KLHK terhadap penerapan GMP dan pelestarian lingkungan. Semua harus comply terhadap aturan dan regulasi yang ada," katanya.