FAKTA.COM, Jakarta - Adu hebat soal perdagangan berkelanjutan, Indonesia kalah jauh dibanding sejumlah negara di Asia Tenggara. Fakta tersebut tertuang dalam penelitian Hinrich-IMD Sustainable Trade Index (STI) 2024.
Berdasarkan hasil penelitian yang dirilis Selasa (22/10/2024), Indonesia menempati posisi ke-18 dari 30 negara yang masuk dalam penelitian tersebut. Dengan total skor sebesar (45,3), Indonesia menempati peringkat ke-6 di kawasan Asia Tenggara.
Adapun lima negara Asia Tenggara dengan capaian skor indeks perdagangan berkelanjutan adalah sebagai berikut:
“Indeks menunjukkan beberapa negara telah berhasil melakukan perdagangan berkelanjutan; mendorong nilai perdagangan, tapi sambil tetap membangun ketahanan lingkungan mereka,” kata CEO Hinrich Foundation, Kathryn Dioth
Sekadar informasi, Indeks ini diukur atas tiga faktor utama, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan. Adapun faktor yang menarik untuk disoroti adalah lingkungan.
Faktor ini dibagi ke dalam beberapa indikator, yaitu pengelolaan air limbah, pengembangan energi terbarukan, dan perbaikan deforestasi. Secara berturut-turut, skor dari ketiga indikator tersebut adalah (23,27), (26,4), (28,54).
Menanggapi data itu, Manajer Riset Institute for Essential Services Reform (IESR), Raditya Wiranegara menjelaskan beberapa alasan aspek lingkungan kinerja Indonesia tidak begitu baik.
Radit mengatakan, saat ini bauran energi primer Indonesia masih didominasi oleh energi fosil, yakni sebesar 86%.
“Artinya sumber-sumber energi yang kita konsumsi untuk pembangkit listrik, transportasi, proses-proses di industri, aktivitas komersial dan rumah tangga, masih bergantung pada sumber energi fosil,” kata Radit ke Fakta.com.
Hal tersebut juga dapat dilihat dari laju emisi CO2 dan Produk Domestik Bruto (PDB) yang masih paralel. Artinya, ketika PDB meningkat, emisi CO2 ikut naik dengan tren yang serupa.
Di samping itu, Radit juga bilang, bisnis di Indonesia belum sepenuhnya mempraktikkan prinsip Environment, Social, and Good Governance (ESG). Sebagai contoh, ia menyebutkan BASF dan ERAMET, yakni perusahaan yang menarik investasinya ke Indonesia.
“Karena proyek tambang nikel yang akan dibiayai tidak menerapkan prinsip ESG. US$2,7 miliar tidak jadi diinvestasikan di Indonesia,” ujarnya menambahkan.
Soal penggunaan energi batu bara, Radit mengatakan puncak konsumsi energi batu bara akan berada di tahun 2030-2035. Adapun hal ini karena masih akan ada peningkatan kapasitas PLTU off grid.
“Perkiraan penambahan kapasitasnya masih belum pasti. Namun, kalau melihat draft RUKN, kira2 tahun 2030, kapasitas PLTU akan menjadi 65 GW, on-grid dan off-grid,” jelasnya.
Lebih lanjut, Radit menjelaskan apa yang mendorong PLTU off grid semakin tinggi. Menurutnya, hal tersebut berkaitan dengan pembangunan smelter untuk mineral kritis, seperti nikel.
“Menurut data dari ADB, per Q2 2023, dari total PLTU off-grid (captive) sebesar 64,2% digunakan untuk smelter nikel dan masih akan bertambah seiring dengan pembangunan smelter nikel,” pungkasnya.