Fakta.com

Pemangkasan BI Rate Dinilai Belum Signifikan, Dampak ke Ekonomi Masih Terbatas

Gubernur Bank Indonesia, Perry Wajiyo (tengah) saat mengumumkan pemangkasan BI Rate, Rabu (18/9/2024). (Tangkapan layar Youtube Bank Indonesia)

Gubernur Bank Indonesia, Perry Wajiyo (tengah) saat mengumumkan pemangkasan BI Rate, Rabu (18/9/2024). (Tangkapan layar Youtube Bank Indonesia)

Google News Image

FAKTA.COM, Jakarta - Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) tidak akan memberikan dampak besar terhadap perekonomian nasional.

Pernyataan tersebut disampaikan Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky ke Fakta.com, Selasa (26/9/2024). Menurut Awalil, pemangkasan BI Rate hanya bersifat sementara dan lebih ditujukan untuk menahan laju pelemahan nilai tukar rupiah.

"Ini hanya akan berdampak signifikan jika BI-Rate diturunkan hingga kisaran 150 bps. Pemangkasan hanya menahan laju pelemahan rupiah yang sementara ini menguat, tetapi berpotensi melemah kembali dalam beberapa bulan mendatang," jelas Awalil.

Ia menambahkan, langkah Bank Indonesia yang hanya memangkas suku bunga sebesar 25 bps menunjukkan bahwa otoritas moneter masih khawatir akan potensi keluarnya modal asing.

"Pemangkasan ini menunjukkan kehati-hatian BI, terutama jika modal asing kembali keluar. Padahal, The Fed sudah memangkas suku bunga sebesar 50 bps," imbuhnya.

Lebih lanjut, Awalil menekankan pentingnya kebijakan fiskal yang sejalan dengan pemangkasan suku bunga untuk mencapai hasil optimal.

Menurutnya, pemerintah seharusnya menurunkan yield Surat Berharga Negara (SBN) untuk meringankan beban pembayaran bunga dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Yield SBN dapat diturunkan hingga di bawah 6% akan berdampak positif terhadap APBN 2025, di mana rencana pembayaran bunga yang mencapai Rp553 triliun bisa direalisasikan lebih rendah, bahkan di bawah Rp500 triliun," kata Awalil menerangkan.

Namun, hal ini hanya dapat dicapai jika BI-Rate turun hingga 150 bps. Saat ini, menurut Awalil, pengaruh kebijakan moneter terhadap fiskal lebih dominan dibandingkan sebaliknya.

Terkait sektor-sektor yang membutuhkan dukungan fiskal lebih besar, Awalil menyoroti bahwa sektor properti belum akan merasakan dampak positif dari penurunan BI-Rate dalam waktu dekat.

Hal ini disebabkan oleh adanya jeda waktu (time lag) dalam transmisi penurunan suku bunga ke tingkat bunga perbankan, termasuk kredit properti.

"Jika BI-Rate turun hanya 25 bps, bunga kredit properti tidak akan langsung turun, apalagi dengan rencana penghapusan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk perumahan rakyat tahun depan,” ucap Awalil.

Dengan kata lain harga properti akan dikenakan PPN secara penuh, sehingga tidak memberikan stimulus yang berarti bagi sektor ini.

Awalil menambahkan bahwa permintaan terhadap properti masih akan lemah hingga tahun depan, yang menyebabkan harga properti tidak akan naik signifikan.

Dengan demikian, penurunan suku bunga dapat lebih efektif mendorong pertumbuhan ekonomi dan stabilitas fiskal dalam jangka panjang.

Seperti diketahui, BI Rate akhirnya diturunkan. Tren pengetatan kebijakan moneter berakhir.

Setelah lima bulan bertahan di angka 6,25%, Bank Indonesia (BI) akhirnya memangkas suku bunga sebesar 25 bps menjadi 6%.

Adapun rinciannya adalah sebagai berikut, BI Rate 6%, Deposit Facility 5,25%, dan Lending Facility sebesar 6,75%.

Fakta tersebut disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dalam pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, Rabu (18/9/2024).

Hal tersebut konsisten dengan rendahnya prakiraan inflasi di tahun 2024 dan 2025 yang terkendali dalam sasaran yang ditetapkan, kemudian perlunya penguatan stabilitas rupiah dan perlunya upaya memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional.

“Kedepan Bank Indonesia terus mencermati ruang penurunan suku bunga kebijakan sesuai dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah, nilai tukar rupiah yang stabil dan menguat serta pertumbuhan ekonomi yang perlu terus didorong agar lebih tinggi,” ujar Perry

Trending