Menyoal Kepentingan Penambahan Kementerian dan Lembaga Baru Era Prabowo

Presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran. (Dokumen Instagram @prabowo)
FAKTA.COM, Jakarta - Setelah perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara disahkan oleh DPR, Kamis (19/9/2024), peluang untuk Prabowo Subianto menambah kementerian di periode kepemimpinannya nanti semakin terbuka lebar. Namun, apakah penambahan jumlah kementerian adalah hal yang urgent untuk mengakselerasi kinerja perekonomian?
Menanggapi hal tersebut, Peneliti Next Policy, Shofie Azzahrah mengatakan fokus pemerintahan baru sebaiknya bukan dalam penambahan K/L. Menurutnya, efektivitas dan efisiensi kebijakan fiskal merupakan hal yang lebih penting untuk dipikirkan ke depan.
“Fokus utama pemerintahan baru sebaiknya diarahkan pada efisiensi dan efektivitas kebijakan fiskal, pengalokasian anggaran yang tepat, serta peningkatan daya serap anggaran yang sudah ada, bukan semata pada penambahan lembaga baru,” kata Shofie kepada Fakta.com, Senin (23/9/2024).
Di samping itu, Shofie menuturkan untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 8%, alih-alih menambah K/L baru hal yang lebih penting adalah reformasi kebijakan dan penguatan sektor industri.
Dalam hal ini, menurutnya Indonesia masih dihadapkan dengan tantangan deindustrialisasi yang menghambat pertumbuhan sektor manufaktur. Padahal, sektor tersebut merupakan penggerak utama ekonomi.
“Tanpa perbaikan iklim usaha dan langkah-langkah strategis untuk mendukung sektor industri, akan sulit menarik investasi asing berkualitas yang dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan,” ujarnya.
Karena itu, Shofie mengatakan sebagai alternatif, pemerintah dapat mempertimbangkan reformasi terhadap K/L yang sudah ada atau penambahan personel di K/L yang membutuhkan penguatan tanpa harus membentuk K/L baru.
“Ini akan lebih efisien dan tidak menambah beban administrasi yang signifikan, sehingga tetap menjaga stabilitas anggaran,” pungkasnya.
Namun, apabila benar ada penambahan jumlah K/L di kepemimpinan Prabowo Subianto, bagaimana alokasi anggarannya?
Dihubungi terpisah, Ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana mengungkap, apabila penambahan K/L, maka alokasi anggarannya akan menggunakan belanja non K/L dengan jenis belanja lainnya. Namun, apabila penambahan jumlah K/L melebihi anggaran dari belanja lainnya dan automatic adjustment, maka diperlukan APBN-P (APBN Pengganti).
Di samping itu, menurut Andri realistisnya pembentukan K/L baru tidak dilakukan dari nol, termasuk untuk rekrutmennya. Ia mengatakan, lebih balik dialihkan dari Direktorat Jenderal (Ditjen) kementerian yang tupoksinya diambil K/L baru.
Hal tersebut pernah dilakukan Presiden Joko Widodo di periode kedua, yakni BRIN sebagai lembaga baru mengambil pegawai dan anggaran dari Ditjen Ristek.
“Jadi untuk belanja pegawainya hanya pindah K/L,” kata Andri menjelaskan.