Fakta.com

Terbanyak Serap Tenaga Kerja, Sektor Pertanian Butuh Banyak Perhatian

Presiden Jokowi tinjau panen raya di Maros, Sulsel, Kamis (30/03/2023). (Humas Setkab/Agung)

Presiden Jokowi tinjau panen raya di Maros, Sulsel, Kamis (30/03/2023). (Humas Setkab/Agung)

Google News Image

FAKTA.COM, Jakarta - Sektor pertanian masih jadi yang paling besar serap tenaga kerja. Meski begitu, masih ada beberapa tantangan yang menanti sektor ini ke depan, yakni soal produktivitas dan perubahan iklim.

Dua hal itu merupakan tugas yang harus diselesaikan oleh presiden terpilih, Prabowo Subianto.

Merujuk data Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia per Februari 2024 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk yang bekerja pada Februari 2024 sebanyak 142,18 juta orang. Angka itu bertambah sebanyak 3,55 juta orang (2,56%) jika dibandingkan dengan Februari 2023 (138,63 juta orang).

Dari jumlah itu, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan merupakan lapangan usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja yaitu sebanyak 40,72 juta orang (28,64%). Sementara lapangan usaha pengadaan listrik, gas, uap/air panas, dan udara dingin paling sedikit menyerap tenaga kerja, yaitu sebanyak 0,36 juta orang (0,25%).

Lebih rinci, sektor pertanian masih menyumbang serapan tenaga kerja terbesar dibanding sektor lain. Per Februari 2024, porsinya 28,64% dari total 142,18 juta pekerja.

Meski persentasenya menurun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni 29,36%, secara jumlah angkanya meningkat 0,03%.

Ini menunjukkan, masyarakat masih sangat bergantung pada sektor pertanian, mengingat sumber penghasilan utamanya didominasi oleh sektor tersebut.

Peneliti CORE Indonesia, Eliza Mardian mengungkap, meski serapan tenaga kerja di sektor pertanian besar, tetapi produktivitas dan kesejahteraan petani masih belum optimal.

“Jumlah petani lahan sempit tahun 2023 bertambah 2,8 juta orang dibandingkan dengan 2013, artinya petani kita semakin termarjinalkan dan kesejahteraannya kian tergerus,” kata Eliza kepada Fakta.com, Kamis (5/9/2024).

Menurut Eliza, hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah rendahnya implementasi inovasi pertanian. “Pemerintah tidak menjembatani antara akademisi, sektor swasta, dan petani sehingga riset berjalan sendiri-sendiri,” ujar Eliza.

Penyebab lainnya adalah keterbatasan akses modal, infrastruktur yang kurang memadai, hingga ketergantungan pada cuaca. Eliza bilang, anggaran pertanian lebih banyak difokuskan untuk barang habis pakai, bukan untuk belanja ketahanan iklim atau membangun infrastruktur dasar, seperti irigasi, jalan usaha tani, dan teknologi tepat guna.

Soal buruknya ketahanan iklim di sektor pertanian tercermin dari nilai Food Security Index (FSI) Indonesia pada indikator keberlanjutan yang buruk. Untuk indikator tersebut, Indonesia berada pada urutan ke-71 dari 78 negara. Sementara itu, Ethiopia bahkan berada pada urutan ke-23.

Salah satu subindikator keberlanjutan yang menjadi sorotan adalah manajemen air atau irigasi, Indonesia mendapatkan skor 0, sedangkan Ethiopia memiliki skor sempurna, yakni 100.

“Artinya sistem irigasi di Indonesia amat mengkhawatirkan. Padahal, manajemen irigasi sangat krusial bagi pertanian,” kata Eliza menambahkan.

Adapun subindikator keberlanjutan lain Indonesia yang skornya berada di bawah Ethiopia di antaranya adalah subsidi pertanian, investasi pertanian berkelanjutan, dan resiliensi terhadap perubahan iklim.

“Jadi terlihat bahwa pertanian Indonesia belum siap menghadapi dampak perubahan iklim,” pungkas Eliza.

Eliza bilang, untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut ke depan, presiden terpilih Prabowo Subianto perlu mendorong transformasi pertanian dengan pendekatan holistik.

Artinya, tidak hanya mempertimbangkan soal peningkatan produksi saja, tetapi juga ada peningkatan nilai tambah pertanian, ekosistem riset yang memadai, dan peningkatan kesejahteraan petani.

Ketenagakerjaan
fakta.com
tenaga kerja
pertanian
badan pusat statistik