FAKTA.COM, Jakarta - Sengkarut industri tekstil belum juga surut. Pasalnya, pukulan telak dari produk impor masih membuat industri dalam negeri terkapar lemah.
Salah satu penyebab melemahnya industri tekstil dalam negeri lantaran dibanjiri produk impor, termasuk yang ilegal. Hal tersebut merupakan imbas dari terbitnya Permendag No.8 Tahun 2024 yang merelaksasi aturan impor.
Melihat kondisi itu, INDEF menggelar diskusi publik bertajuk "Industri Tekstil Menjerit PHK Melejit", Kamis (8/8/2024). Dalam acara itu, Kepala Center of Industry, Trade and Investment INDEF, Andry Satrio Nugroho, menyampaikan sinyal bahaya dari kondisi industri tekstil.
Salah satu yang paling mencolok adalah lonjakan angka PHK. Menurut data Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) hingga semester I-2024, angka PHK di Indonesia melonjak tinggi atau naik 21,4% menjadi sebesar 32.064 orang.
"Setelah kami lihat, memang salah satu yang menyumbang cukup besar dalam hal ini adalah industri tekstil dan pakaian jadi," kata Andry.
Ditinjau dari pertumbuhannya pun, kata Andry, selain angkanya di bawah pertumbuhan industri nonmigas, ia juga terkontraksi tiap kuartal.
Hal tersebut dipertegas oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengungkap data perlambatan industri tekstil dan pakaian jadi. Pada Kuartal II 2024, secara year on year, industri tekstil terkontraksi sebesar 0,03%, kemudian dilihat kuartalan kontraksinya lebih besar, yaitu 2,63%.
Menanggapi berbagai kondisi pelemahan tersebut, Andry merumuskan beberapa saran yang dapat diimplementasikan oleh pemerintah di antaranya, penguatan satgas impor ilegal dengan menaikkan level ketua satgas menjadi menteri dan pelaporannya langsung kepada presiden.
Andry juga bilang, satgas jangan hanya menyampaikan temuan impor ilegal saja, tetapi perlu dipublikasikan pula modus impor ilegal yang dilakukan, oknum yang terlibat, hingga detail lain.
Di samping itu, proteksi terhadap produk domestik perlu ditingkatkan melalui pengeluaran lartas (larangan dan pembatasan) baru sehingga melindungi produsen dalam negeri.
"Kita harapkan Permendag Nomor 8 bisa segera direvisi," kata Andry menambahkan.
Terakhir, Andry mengatakan industri tekstil dalam negeri perlu diberikan beberapa insentif agar cepat pulih, di antaranya adalah pemberian Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) tanpa adanya kuota, pemberian diskon listrik, cashback investasi mesin perlu diperbesar, dan kemudahan dalam akses kredit modal kerja.
Menegaskan temuan Andry, Sekretaris Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) ungkap kondisi industri saat ini bahkan jauh lebih parah dibanding saat pandemi Covid-19.
Selaras dengan hal tersebut, Direktur Eksekutif Asosiasi Tekstil Indonesia, Danang Girindrawardana menyebut, saat ini hambatan nontarif untuk barang masuk ke Indonesia masih sangat sedikit, bahkan restriksinya paling rendah di ASEAN.
"Itu mengapa Indonesia jadi tempat pembuangan supply barang yang berlebih," ujar Danang.