Fakta.com

Sritex, Tekstil Terbesar di Asia Tenggara di Antara Geopolitik hingga PHK Karyawan

Logo Sritex. (Dokumen Sri Rejeki Isman)

Logo Sritex. (Dokumen Sri Rejeki Isman)

Google News Image

FAKTA.COM, Jakarta - PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex buka suara terkait beberapa kabar soal pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga isu gulung tikar. Apa saja klarifikasi dari manajemen perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara ini?

Pertama, mengenai isu pailit. Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam mengatakan, saat ini perseroan masih beroperasi dan tidak ada putusan pailit dari pengadilan.

"Restrukturisasi lewat PKPU sudah selesai dan berkekuatan hukum tetap sesuai putusan 25 Januari 2022 atas perkara PKPU No.12/Pdt-Sus-PKPU/PN Semarang," kata Welly dalam keterbukaan informasi ke Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (24/6/2024).

Welly juga menerangkan, perseroan telah memohon relaksasi kepada kreditur dan mayoritas sudah memberikan persetujuan atas relaksasi tersebut.

Selain itu, Welly juga mengungkapkan kondisi sebenarnya atas penurunan pendapatan Sritex. Salah satu faktornya adalah kondisi geopolitik Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina yang menyebabkan terjadinya gangguan supply chain dan penurunan ekspor karena pergeseran prioritas masyarakat Eropa dan Amerika Serikat.

Di sisi lain, Welly memaparkan, terjadi over supply tekstil di China yang menyebabkan dumping Harga dengan produk yang menyasar ke negara di luar Eropa dan China yang longgar aturan impornya. "Salah satunya Indonesia," ujar Welly.

Welly pun menyadari, dengan kondisi-kondisi itu, penjualan perseroan belum pulih. Namun dia mengklaim, perseroan tetap beroperasi dengan menjaga keberlangsungan usaha serta operasional menggunakan kas internal maupun dukungan sponsor.

Mengutip materi publikasi perseroan, penjualan perseroan berangsur turun sejak 2021. Saat itu Sritex mencatat penjualan US$848 juta, kemudian turun ke US$524 juta pada 2022 dan kembali turun menjadi US$325 pada 2023.

Meski begitu, nilai kerugian Sritex terus membaik. Mulai dari US$1,1 miliar pada 2021, menjadi US$396 juta pada 2022 dan pada 2023 kembali membaik jadi US$175 juta.

Terlepas dari itu, Welly menjelaskan berbagai strategi usaha yang diterapkan Sritex atas penurunan performa keuangannya. Salah satunya reorganisasi SDM untuk meningkatkan efisiensi operasional dan fleksibilitas dalam menghadapi dinamika pasar.

Mengutip laporan tahunan perseroan 2023, Sritex memiliki 11.249 karyawan. Jumlah itu anjlok 31,28% dari periode 2022 sebanyak 16.370 karyawan.

Dalam laporan itu dijelaskan, Pengurangan tersebut terjadi karena efisiensi usia nonproduktif dan untuk menyesuaikan jumlah karyawan dengan kebutuhan operasional saat ini.

"Ini adalah keputusan yang sulit, namun kami percaya bahwa dengan mengurangi jumlah karyawan, kami dapat meningkatkan efisiensi dan keselarasan tim, serta memastikan kelangsungan perusahaan di masa depan," bunyi laporan itu.

Adapun dari sisi keuangan, Sritex melakukan restrukturisasi dan konsolidasi internal untuk memperkuat dan meningkatkan kinerja. Sementara dari sisi pemasaran, perseroan melakukan reorganisasi pemasaran yang lebih fokus pada bisnis unit sebagai profit center.

Sebagai tambahan informasi, Sritex yang punya kode saham SRIL masih dalam status berpotensi delisting oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Saat ini, harga saham SRIL masih stagnan di level Rp146.

industri tekstil
fakta.com
sritex
pt sri rejeki isman tbk
phk
pemutusan hubungan kerja
korporasi