FAKTA.COM, Jakarta - Prabowo Subianto bertekad akan menyelesaikan persoalan korupsi di Indonesia. Ia ingin memastikan setiap rupiah rakyat akan kembali ke rakyat pula.
Hal tersebut ia ungkap melalui pidatonya pada Kongres ke-6 Partai Amanat Nasional (PAN), Sabtu (24/8/2024). “Kita bersama-sama akan menghilangkan korupsi dari bumi Indonesia,” ujar Prabowo.
Dalam hal ini, Prabowo tentu mengemban tugas yang berat. Pasalnya, ia akan menahkodai negara yang stagnan dalam tren perbaikan masalah korupsi. Fakta tersebut terungkap dari perkembangan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia beberapa tahun ke belakang.
Merujuk kepada data tersebut, dapat dilihat selama era kepemimpinan Joko Widodo, angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) berada dalam tren stagnasi. Di samping itu, jika melihat tren peringkatnya Indonesia mengalami penurunan.
Jokowi memulai kepemimpinannya dengan peringkat ke-107 nilai IPK. Saat ini, posisi terakhir Indonesia adalah peringkat ke-115. Artinya, saat Indonesia mengalami stagnasi dalam menyelesaikan persoalan korupsi, negara-negara lain sudah mulai berbenah hingga menggeser posisi Indonesia jauh ke belakang.
Sekadar informasi, Indeks Persepsi Korupsi merupakan tolok ukur seberapa bersih sektor publik di suatu negara dari tingkat korupsi. Dengan skala (0-100), semakin tinggi nilainya, maka negara tersebut semakin bersih dari korupsi.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan persoalan korupsi menyebabkan alokasi sumber daya yang tidak efisien. Hal ini dapat memperlambat proses investasi hingga mengurangi kualitas infrastruktur yang dihasilkan.
Achmad menyoroti tingginya Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia merupakan indikator tidak efisiennya investasi di Indonesia yang disebabkan salah satunya oleh kebocoran karena korupsi.
Seperti diketahui, saat ini nilai ICOR Indonesia berada di sekitar angka 6. Hal tersebut disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam siaran pers, Selasa (20/2/2024). Menurutnya, Indonesia masih perlu menurunkan tingkat ICOR hingga setidaknya mencapai angka 4.
Sementera itu, negara-negara di ASEAN memiliki nilai ICOR di kisaran 4-5. Dengan kata lain, soal investasi, Indonesia masih kalah efisien dibanding negara lain. Sekadar informasi, ICOR adalah ukuran yang digunakan untuk melihat efisiensi input yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu output, semakin rendah angkanya, maka tingkat efisiensi produksi akan semakin baik.
Di samping itu, Achmad menilai tingkat korupsi yang tinggi di Indonesia selama era Joko Widodo menjadi salah satu penyebab kemandekan pertumbuhan ekonomi.
“Meskipun pertumbuhan ekonomi tetap stabil di angka 5%, tetapi ada potensi pertumbuhan yang lebih tinggi jika korupsi diminimalkan. Korupsi berkontribusi pada inefisiensi dalam penggunaan anggaran publik dan mengurangi kepercayaan investor,” kata Achmad kepada Fakta.com, Selasa (26/8/2024).
Achmad menuturkan, meski Prabowo memiliki tekad untuk mengentaskan persoalan korupsi, tetapi ia dihadapkan dengan melemahnya kontrol kekuasaan karena adanya koalisi pemerintahan yang gemuk.
“Ini bisa menciptakan situasi dimana check and balances menjadi tumpul, dan sulit untuk memberantas korupsi tanpa komitmen politik yang kuat dan integritas dari semua pihak yang terlibat,” pungkas Achmad.
Dihubungi secara terpisah, Ekonom Senior INDEF, Didik J Rachbini mengungkap tanpa oposisi yang kuat, pemerintah berisiko kurang diawasi sehingga ada potensi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Didik menyoroti besarnya koalisi yang sering dianggap sebagai stabilitas, padahal di lain sisi justru melemahkan fungsi pengawasan.
“Hal ini bisa membuka celah untuk praktik-praktik korupsi karena kurangnya kontrol yang memadai,” ujar Didik.
Terakhir, Didik bilang Indonesia perlu mencontoh Denmark dan Norwegia. Menurutnya, kedua negara tersebut memiliki sistem demokrasi yang matang, transparansi tinggi, dan pengawasan yang kuat oleh masyarakat sipil.