FAKTA.COM, Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati RUU tentang Perubahan atas UU No 19/ 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (RUU Wantimpres) disahkan menjadi RUU Inisiatif Usul DPR.
Salah satu substansi dari RUU Wantimpres ialah mengembalikan keberadaan Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Masyarakat pun berasumsi keberadaan DPA bisa jadi merupakan langkah politik bagi Jokowi sebagai back up saat ia sudah tak lagi menjadi presiden. Jokowi diduga akan menjadi anggota ataupun ketua DPA.
Pengamat politik, Firman Manan mengungkapkan, pengembalian keberadaan DPA bisa jadi merupakan salah satu langkah bagi Jokowi agar bisa kembali ‘berkuasa’. Namun, ia menekankan perlu melihat juga sistem pemerintahan Indonesia.
“Ada praduga Jokowi sengaja ingin mengembalikan DPA agar bisa kembali berkuasa. Kemungkinan besar DPA juga akan disahkan undang-undangnya," kata Firman Manan saat dihubungi Fakta, Senin (29/7/2024).
Namun, lanjut Firman, jika melihat pada konstitusi, Indonesia yang menganut sistem presidensial, presiden sebagai pemimpin eksekutif tunggal.
"Maka tidak ada dewan penasihat yang posisinya lebih tinggi daripada Presiden,” kata Firman.
Firman menambahkan, Wantimpres atau DPA tidak bisa memiliki posisi yang lebih tinggi dari presiden, kecuali UUD NRI 1945 diamandemen. Jika sekadar mengubah Undang-Undang Wantimpres, posisinya akan tetap sama.
“Walaupun berganti nama dari Wantimpres menjadi DPA, tetap saja fungsinya sama, memberikan saran dan masukan. Tetapi tergantung presiden apakah akan menerima saran itu atau tidak,” ujar dosen Universitas Padjadjaran (Unpad) tersebut.
Sementara terkait dengan kebijakan, kata dia, juga tidak ditentukan DPA, melainkan presiden.
"Kewenangan DPA tidak akan besar. Wantimpres juga tidak terlalu signifikan perannya,” sambungnya.
Firman mengatakan Jokowi akan lebih mungkin apabila masuk menjadi elite partai politik dibandingkan dengan menjadi anggota atau ketua DPA.
Sebab, kata dia, partai politik lebih memiliki power dan bargaining position untuk posisi tawar yang lebih tinggi.
Partai politik, lanjut Firman, juga lebih memiliki support dari sisi kekuatan politik. Apabila Jokowi hendak melanggengkan ‘Jokowi Effect’ seperti yang telah terjadi saat ini, maka lebih mudah untuknya menjadi bagian dari elite partai politik.
“Yang penting itu kan justru ada support, ada dukungan dari partai politik yang signifikan, partai politik yang besar, sehingga ia punya bargaining position," ujar Firman.
Bahkan, lanjut dia, dalam tingkatan tertentu, partai politik punya kemampuan menekan pihak mana pun.
"Itu jauh lebih efektif dibandingkan dengan menjadi anggota atau ketua Wantimpres atau DPA,” papar Firman.
Pelanggengan ‘Jokowi Effect’ ini terlihat dari cara Jokowi membangun dinasti politik dengan memajukan keluarganya di Pemilu tahun ini.
“Jokowi mau membangun dinasti politik itu kan sudah terkonfirmasi. Mas Gibran jadi Wakil Presiden terpilih, kemudian Mas Bobby didorong untuk maju di Pilkada Sumatera Utara, lalu Mas Kaesang di Pilkada Jawa Tengah.," ujar Firman.
Firman mengatakan, ada peran besar Jokowi untuk membangun dinasti politik.
"Jadi sudah bukan ambisi lagi, tapi memang sudah terkonfirmasi adanya dinasti politik Jokowi itu,” kata Firman.