Amerika Berbenah Ekonomi, Indonesia Kena Dampak Ini

Ilustrasi ekonomi. (Dokumen Bank Indonesia)

FAKTA.COM, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengakui bahwa kondisi perekonomian Indonesia tidak bisa lepas dari dampak dan pengaruh eksternal, utamanya yang berasal dari negara maju seperti Amerika Serikat (AS).

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu mengatakan jika perekonomian global saat ini sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Menurut dia, perkembangan terkini menunjukan ketegangan geopolitik di Ukraina dan Timur Tengah menjadi katalis utama yang mendorong ketidakpastian terus berlanjut.

“Lalu hubungan dagang dan ekonomi Amerika dengan China menunjukan adanya potensi peningkatan risiko,” ujarnya dalam forum BNI Investor Summit 2023 pada Selasa (24/10/2023).

Ekonomi Dunia Rugi Bandar Gara-gara Perubahan Iklim

Febrio menjelaskan, bacaan pemerintah saat ini bahwa AS akan memilih pendekatan kebijakan jangka panjang. Indikasi itu terlihat dari postur APBN Amerika yang masih mencatatkan defisit tinggi.

“Selama pandemi COVID-19 defisit anggaran mereka double digit, setelah pandemi pun masih tergolong tinggi seperti tahun ini yang sebesar 9% dari Produk Domestik Bruto (PDB) mereka,” tutur dia.

Artinya, sambung Ferbio, AS akan berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi saat situasi inflasi dalam negeri yang relatif tinggi. Langkah Negeri Paman Sam itu diyakini bakal menimbulkan ekses tersendiri bagi stabilitas pasar keuangan negara-negara dunia. 

“Ini kemudian memicu kenaikan suku bunga yang cukup tinggi dan mungkin akan lebih tinggi lagi dari sekarang serta berlangsung cukup lama (higher for longer),” tegasnya.

Dalam Gempuran Israel, Bagaimana Gambaran Ekonomi Palestina?

Febrio menambahkan, proyeksi ini sudah disadari Kemenkeu sedari awal dan telah disiapkan sejumlah langkah antisipasi untuk menangkal dampak rambatan ke Tanah Air.

“Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua 2023 adalah sebesar 5% dan kami kira untuk kuartal ketiga dan keempat juga akan tetap di atas 5%. Jadi overall sepanjang tahun tetap di atas 5%. Ini yang kita jaga dengan APBN sebagai penahan apabila ada gejolak. Sama seperti 2022 saat ada gejolak harga minyak,” jelas dia.

Respon Bank Indonesia

Terpisah, Bank Indonesia (BI) menjadi institusi terbaru yang mengambil langkah mitigasi atas proyeksi ekonomi Amerika Serikat selanjutnya. Hal itu terjadi pada pekan lalu saat BI memilih untuk menaikan suku bunga acuan 25 basis points (bps) menjadi 6,00% setelah sebelumnya menahan sejak Januari 2023.

“Langkah ini ditempuh untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari ketidakpastian global,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta.

Disebutkan bahwa opsi mengerek BI rate juga merupakan bagian dari sikap pre-emptive dan forward looking dalam menjaga inflasi barang impor (imported inflation).

“Sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3% plus minus 1% pada 2023 dan 2,5% plus minus 1% pada 2024,” sebut Perry.

Surplus Neraca Perdagangan Perkuat Ketahanan Ekonomi

Sejatinya, jika Bank Indonesia tidak menaikan suku bunga maka interest rate yang berlaku akan sama dengan proyeksi level suku bunga acuan Amerika Serikat. Pasalnya, sejumlah ekonom percaya bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), akan menaikan sekali lagi suku bunga acuan menjadi 5,75%.

Apabila BI rate berada di posisi peer dengan Fed fund rate, maka berpotensi menyedot keluar aliran dana asing dari Indonesia (capital outflow). Itu sebabnya BI memilih untuk mengambil tindakan pencegahan sebelum terjadi tekanan dalam perekonomian domestik.

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Place your ads here
Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//