FAKTA.COM, Jakarta - Sebanyak lebih dari 100 orang telah ditahan oleh aparat dalam demonstrasi mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (22/8/2024).
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebutkan, hingga Jumat (23/8/2024) pukul 01.00 WIB, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mendata banyaknya massa aksi yang masih ditahan dan tersebar.
"Terdapat sekitar 27 orang massa aksi di Polda Metro Jaya, 105 orang di Polres Jakbar, dan 3 orang anak di Polsek Tanjung Duren," kata pernyataan YLBHI dikutip dari akun Instagram @ylbhindonesia, Jumat (23/8/2024).
Aksi yang menjamur di beberapa kota pada Kamis (22/8/2024) sebagai bentuk reaksi masyarakat atas adanya upaya DPR menggagalkan putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024.
Aksi ini menjadi puncak kemarahan masyarakat atas rentetan praktik penghancuran Demokrasi yang dilakukan oleh Jokowi dan kroninya.
Aksi terjadi di Palembang, Padang, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Malang, Cianjur, Bandung, Makassar, Tasikmalaya, Purwokerto dan Surabaya juga pertemuan besar dilakukan di kota lainnya seperti Lampung, Medan, Bali dll.
"Dari pantauan YLBHI, aparat kepolisian melakukan pengamanan berlebihan, represifitas, intimidasi hingga kekerasan pada massa aksi," kata pernyataan YLBHI.
Di Semarang, Polisi membubarkan massa aksi mahasiswa dengan menembakkan gas air mata dan pemukulan. Polisi juga memburu mereka menggunakan motor taktis dan menembakkan gas air mata ke arah massa.
Setidaknya 18 massa aksi harus dilarikan ke rumah sakit. Di Makassar, polisi membubarkan massa aksi setelah diketahui Iriani Jokowi hendak melewati jalan yang sedang digunakan untuk berdemonstrasi.
Di Bandung, 31 orang massa aksi mendapatkan kekerasan oleh polisi, 2 diantaranya mengalami dampak kepala bocor. Selain itu, 2 orang masih belum diketahui keberadaanya hingga siaran pers ini disiarkan.
Sedangkan di Jakarta, Polisi mulai menembakkan gas air mata ketika massa aksi berhasil merobohkan pagar DPR. Pasca kerumunan terpecah, aparat kepolisian mulai memburu mahasiswa dan pelajar. Banyak massa aksi yang mendapatkan pengeroyokan dengan cara memukul dengan tongkat dan menendang massa aksi.
Selain itu, setidaknya sampai pukul 21.00 WIB, YLBHI mendapatkan laporan adanya 11 massa aksi telah terkonfirmasi ditangkap oleh aparat kepolisian, dan satu orang diketahui mendapatkan doxing. Pengaduan yang masuk di TAUD hingga pukul 21.30 WIB ada 26 laporan dengan tindakan yang didapatkan berupa kekerasan, doxing dan penangkapan.
Selain itu, YLBHI mendapatkan informasi adanya ratusan massa aksi yang ditangkap saat sedang menuju lokasi aksi Penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian adalah tindakan pelanggaran hukum dan tindakan yang melanggar peraturan internal Kapolri itu sendiri.
Dalam peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 jelas disebutkan bahwa pihak kepolisian tidak boleh terpancing, tidak boleh arogan, tidak boleh melakukan kekerasan bahkan di saat situasi kerumunan massa tidak terkendali.
"Maka oleh karena itu, kami meminta Kapolri untuk memerintahkan anak buahnya berhenti melakukan kekerasan kepada massa aksi yang sedang melakukan demonstrasi," kata YLBHI.
Demonstrasi adalah hak asasi manusia dan hak warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang 1945. Setiap kekerasan, represi dan brutalitas aparat merupakan bentuk pelanggaran hukum dan tindak pidana serta melanggar kode etik kepolisian.
Untuk itu, YLBHI mendesak:
1. Kapolri untuk memerintahkan anak buahnya melepaskan massa aksi yang ditangkap saat ini juga.
2. Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Seluruh Kapolda di jajaran kepolisian hingga Kapolres untuk menjaga anak buahnya agar tidak melakukan represi dan kekerasan yang merupakan tindakan pidana.
3. Kapolri, dan Kapolda Metro Jaya untuk membatalkan tindakan penyisiran massa aksi dan menarik mereka kembali ke markas.
4. Mabes Polri memerintahkan Polda Metro Jaya dan Satuan Wilayah dan Kerja dibawahnya untuk memastikan akses bantuan hukum terbuka bagi massa aksi yang ditangkap dan ditahan dan bagi yang mengalami luka akibat kekerasan dan sekarang masih ditahan agar segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pengobatan intensif.
5. Komnas HAM, Kompolnas, KPAI, Ombudsman RI dan Komnas Perempuan untuk segera turun melakukan pemantauan di lapangan maupun di Kantor-Kantor Kepolisian di bawah Polda Metro Jaya.