FAKTA.COM, Jakarta – Dalam upaya mewujudkan transisi energi yang berkelanjutan, Indonesia menghadapi sejumlah tantangan besar, terutama dalam aspek regulasi, teknologi, dan pendanaan.
Direktur Pengembangan Program Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Wanhar menjelaskan bahwa sebelum Kesepakatan Paris (COP21), sistem kelistrikan di Indonesia masih didorong oleh permintaan dengan model biaya risiko yang lebih tinggi.
Hal ini menyebabkan dominasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara yang saat ini mencapai sekitar 67% dari bauran energi nasional.
"Tiga pilar utama regulasi ketenagalistrikan kita adalah kecukupan listrik, keandalan, dan keterjangkauan. Namun, ketika transisi energi dan dekarbonisasi mulai menjadi agenda utama, kita menghadapi berbagai kendala dalam menyesuaikan regulasi yang ada,” ujar Wanhar di Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW), Jakarta, Rabu (11/9/2024).
Menurutnya, meskipun pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden untuk memperbaiki iklim investasi, Indonesia masih membutuhkan peta jalan (roadmap) yang jelas menuju target net zero emission (nol emisi bersih).
Dalam transisi menuju energi terbarukan, Wanhar menyoroti pentingnya teknologi dan infrastruktur yang dapat menggantikan peran besar batubara tanpa mengorbankan kestabilan sistem kelistrikan.
“Kita akan memaksimalkan potensi energi terbarukan seperti hidro, panas bumi, tenaga surya, dan angin untuk menggantikan batubara. Teknologi seperti green hydrogen (hidrogen hijau) dan green ammonia (amonia hijau) juga akan menjadi bagian penting dari strategi masa depan," tambahnya.
Wanhar juga menekankan pentingnya pendanaan untuk mendukung transisi ini. Tantangan pendanaan, seperti kesenjangan pembiayaan yang saat ini hanya mencapai 50 persen dari kebutuhan, menjadi salah satu faktor yang menghambat percepatan transisi energi di Indonesia.
"Untuk mengatasi ini, kita sedang mengevaluasi beberapa regulasi agar lebih menarik bagi investor," lanjutnya.
Terakhir, Wanhar menyoroti pentingnya kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan dalam transisi energi ini, termasuk masyarakat dan industri batubara. Menurutnya, tidak ada pihak yang harus merasa dirugikan, dan upaya transisi ini perlu dilakukan secara inklusif dan adil.
"Dengan dukungan teknologi, regulasi yang lebih jelas, serta pendanaan yang tepat, saya optimistis bahwa Indonesia dapat mencapai target transisi energi berkelanjutan," pungkas Wanhar.