FAKTA.COM, Jakarta - Beberapa waktu lalu, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa dirinya diminta oleh presiden terpilih, Prabowo Subianto untuk memperpanjang amanahnya sebagai Menteri Keuangan di pemerintahan selanjutnya.
Kabar itu mendapat berbagai respons dari para ekonom. Terutama soal sentimen pasar dan kinerja bendahara negara itu selama beberapa tahun terakhir.
Salah satunya disampaikan Chief Economist & Head of Research Mirae Asset Sekuritas, Rully Arya Wisnubroto. Rully berpendapat, bergabungnya kembali Sri Mulyani ke dalam pemerintahan merupakan hal yang positif.
Pasalnya, menurut Rully Sri Mulyani adalah sosok yang transparan dan penuh kredibilitas.
“Beliau terkenal sebagai seorang yang jujur, bersih, dan transparan, karena baru saat ini saya lihat, tiap bulan Menteri Keuangan mempublikasikan perkembangan dari APBN tiap bulan,” ujar Rully dalam Mirae Asset media day, Kamis (17/10/2024).
Rully menuturkan, sentimen positif ini terutama muncul dari investor Surat Berharga Negara (SBN). Menurutnya, investor SBN mempertimbangkan siapa sosok bendahara negara sebelum akhirnya memutuskan untuk membeli SBN.
Dengan kredibilitas Sri Mulyani, Rully ungkap hal tersebut akan disambut baik oleh investor SBN.
“Jadi itu yang tadinya saya khawatirkan, kalau berubah (Menteri Keuangan), nanti investor asing enggak mau masuk lagi ke SBN,” kata Rully menambahkan.
Kegagalan fiskal era Jokowi
Ditinjau dari kinerja Kementerian Keuangan, Ekonom Senior Bright Institute, Awalil Rizky pernah merilis sebuah tinjauan kritis terkait kinerja ekonomi di era Joko Widodo (Jokowi). Di dalamnya, terdapat analisis kritis atas kinerja fiskal era Jokowi yang notabene merupakan tanggung jawab Kementerian Keuangan.
Misalnya dalam hal pendapatan, Awalil mengatakan selama era Joko Widodo, realisasi target persentase pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang termaktub dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tidak pernah tercapai.
“Rasio perpajakan yang ditargetkan tidak pernah berhasil dicapai oleh Jokowi di periode pertama, kemudian di periode kedua targetnya diturunkan, tetapi tetap tidak berhasil,” ujar Awalil dalam sebuah diskusi bertajuk Kegagalan Jokowi di Bidang Ekonomi, Selasa (15/10/2024).
Awalil juga mengatakan, dengan instrumen fiskal yang dimiliki, selama era Joko Widodo, pemerintah juga tidak pernah mencapai target pertumbuhan ekonomi yang termaktub dalam dokumen RPJMN.
“Pertumbuhan ekonomi era Jokowi tidak pernah mencapai target RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang ditetapkan dia sendiri,” ucap Awalil.
Menanggapi berbagai poin kritis tersebut, Peneliti Celios Achmad Hanif Imaduddin mengatakan soal penunjukan menteri-menteri lama yang secara performa tidak optimal, rekam jejaknya dapat dilihat sendiri.
“Biar publik saja yang menilai,” kata Hanif kepada Fakta.com, Kamis (17/10/2024).
Pesan untuk Kementerian Keuangan
Belum lama ini, Founder dan Ekonom Senior CORE Indonesia, Hendri Saparini pernah memberikan masukan soal penggunaan instrumen fiskal yang belum optimal. Terutama dalam mendorong sektor riil.
“Selama ini masih APBN aman, tetapi mengamankan APBN banyak sekali kontraproduktif terhadap sektor riil,” kata Hendri kepada awak media, belum lama ini.
Dalam hal ini, Hendri memberi contoh soal insentif pajak ditanggung pemerintah, tetapi tidak begitu targeted sehingga belum optimal mendorong perekonomian. Hendri menuturkan, ke depan insentif yang diberikan harus lebih targeted.
“Misalnya, industri yang mengambil produk rumput laut lokal dimudahkan pajaknya. Itu sebenarnya pajak ditanggung pemerintah kan? tetapi targeted,” jelas Hendri.
Soal belanja, Hendri juga menyampaikan seharusnya bisa dibuat lebih terdesentralisasi untuk mendukung perekonomian daerah, misalnya soal bantuan paket sembako.
“Paket sembako itu didesentralisasi, isinya wajib produk lokal. Nah, kalau begitu kan bisa menggerakkan ekonomi, jadi dananya tetap, tidak perlu dana tambahan untuk mendukung UKM—UKM cukup diberi market,” pungkas Hendri.