Kondisi Terkini dan Outlook Perekonomian Versi Tim Riset Bank Mandiri

Mandiri Macro Market Brief, Kamis (26/9/2024). (Dokumen Bank Mandiri)
FAKTA.COM, Jakarta – Pemerintah perlu memacu pertumbuhan ekonomi di atas 5% untuk melompat keluar dari middle income trap. Namun untuk menuju ke arah itu, banyak tantangan yang harus diselesaikan.
Salah satunya terkait konsumsi masyarakat. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Mandiri Institute, konsumsi di kuartal ketiga tahun ini mengalami sedikit rebound pada awal September, yang turut dipicu oleh periode libur sekolah.
Menariknya, data Mandiri Spending Index yang mengukur transaksi berbasis nilai menunjukkan peningkatan yang menjanjikan, dengan wilayah seperti Kalimantan, Maluku, dan Papua mengalami pertumbuhan konsumsi tertinggi.
"Di Jawa, konsumsi juga mulai menunjukkan perbaikan meskipun sempat terdampak oleh perlambatan ekonomi global dan penurunan permintaan," kata Menurut Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro dalam Mandiri Macro Market Brief, Kamis (26/9/2024).
Namun demikian, peningkatan konsumsi di beberapa wilayah belum sepenuhnya mengimbangi tantangan di sektor lainnya.
Menurut data, spending index, untuk kelas bawah masih cukup baik, saving index menunjukkan tren penurunan, terutama di kalangan masyarakat kelas menengah yang pendapatannya tetap.
"Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih memilih mengurangi tabungan mereka untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari, meski adanya bantuan sosial telah sedikit membaikkan situasi ini," ujar Andry.
Namun, kenaikan harga bahan pangan, seperti beras dan daging sapi, menjadi faktor utama yang membatasi daya beli masyarakat.
Di sisi lain, program pemerintah baru, Makan Berisi Gratis (MBG) diharapkan dapat meringankan beban masyarakat dalam sektor makanan dan minuman, serta mendorong sektor-sektor yang berkaitan, seperti industri makanan dan minuman serta ritel.
Hal ini disampaikan Head of Macroeconomic & Financial Market Research Bank Mandiri, Dian Ayu Yustina. Dian menjelaskan, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini masih dipertahankan di angka 5,06%, dengan estimasi pertumbuhan di tahun 2024 mencapai 5,18%.
Menurut Dian, konsumsi tetap menjadi pendorong utama pertumbuhan ini, meskipun sektor-sektor lain seperti perbankan dan industri manufaktur juga perlu mendapat perhatian.
"Ada faktor pendorong yang semakin besar setelah era suku bunga turun, termasuk dukungan dari ekonomi domestik yang stabil dan inflasi yang diperkirakan tetap rendah," kata Dian menjelaskan.
Sektor lainnya, pasar obligasi Indonesia memasuki tahun 2024 dengan ekspektasi positif meskipun menghadapi berbagai tantangan global.
Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas, Handy Yunianto membahas dinamika global dan kebijakan fiskal dalam negeri akan menjadi penentu utama pergerakan pasar.
Salah satu isu utama yang dibahas Handy adalah potensi penguatan rupiah di bawah Rp15.000 per US$.
Menurutnya, meskipun pasar sangat dinamis, ada beberapa faktor yang mendukung penguatan ini.
"Rupiah bisa tembus di bawah Rp15.000, namun arah kebijakan fiskal dan moneter yang stabil menjadi kunci penting," tutur Handy.
Handy juga menyebutkan bahwa salah satu alasan mereka konsisten dalam pandangan positif terhadap obligasi adalah arah suku bunga yang diperkirakan turun.
Aspek fiskal sebagai faktor utama yang mempengaruhi supply obligasi juga dipaparkan oleh Handy.
"Kejelasan dari sisi fiskal menunjukkan bahwa meskipun defisit fiskal meningkat, pemerintah bisa menurunkan target issuance obligasi, yang merupakan kabar positif untuk pasar," ujarnya.
Menurut Handy, penurunan target issuance obligasi ini menciptakan supply risk yang lebih rendah, membuat pasar obligasi lebih menarik.
Selain itu, Handy juga membahas bagaimana valuasi obligasi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di pasar berkembang (emerging markets).
Menurutnya, meskipun yield (imbal hasil) obligasi Indonesia masih tergolong tinggi dibandingkan negara-negara lain yang memiliki rating lebih rendah, real yield (yield riil) Indonesia, yang dihitung dari selisih antara imbal hasil obligasi 10 tahun dengan tingkat inflasi, masih sangat menarik.
"Indonesia memiliki real yield sebesar 4,3%, jauh di atas rata-rata emerging markets yang hanya 1,6%," ucap Handy.
Dengan berbagai pemaparan tersebut, Bank Mandiri optimis bahwa meskipun terdapat tantangan global, prospek ekonomi Indonesia di kuartal ketiga dan ke depan masih menunjukkan potensi yang kuat.
Selain itu, pasar obligasi Indonesia juga dinilai semakin menarik bagi para investor, didukung oleh penurunan risiko suplai dan real yield yang kompetitif.