FAKTA.COM, Jakarta – Permintaan global masih belum membaik. Fakta tersebut ditunjukkan dari berbagai indikator dan berimplikasi pada dalamnya kontraksi harga komoditas unggulan Indonesia.
Dalam Konferensi Pers APBN KITA, Senin (23/9/2024), Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, kondisi perekonomian global saat ini diwarnai oleh hal positif dan negatif. Positifnya, The Fed telah menurunkan tingkat suku bunga acuan sebesar 50 Bps.
Menurutnya, hal ini dapat membawa sentimen positif ke pasar dan dapat menstimulus kembali perekonomian. Namun, konflik geopolitik masih belum mereda sehingga perimintaan global masih lemah.
“Kalau dari sisi keputusan FFR memberikan sentimen positif, suasana geopolitik tidak. Dalam artian, perkembangan masih cukup menciptakan sentimen negatif. Baik yang terjadi antara Rusia dengan Ukraina, maupun yang terjadi di timur tengah yang semakin melonjak tinggi tensinya,“ ujar Sri Mulyani.
Kondisi yang belum membaik lainnya adalah perekonomian Tiongkok, salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Sri Mulyani mengatakan, saat ini beberapa langkah kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Tiongkok belum menunjukkan hal menggembirakan.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Tiongkok hingga akhir tahun masih diekspektasikan berada di bawah 5%. Adapun pertumbuhan ekonomi Tiongkok Triwulan II tahun ini sebesar 4,7%.
Ditinjau dari PMI Manufaktur, secara umum kondisinya masih dikatakan buruk. Saat ini PMI Manufaktur global masih berada di level kontraktif, yakni 49,5. Sementara itu, Indonesia berada di bawahnya, yaitu 48,9 per Agustus 2024.
Hal ini menunjukkan kalau permintaan global belum membaik sehingga berimplikasi kepada penurunan harga-harga komoditas unggulan.
“Komoditas juga masih mengalami tekanan, karena permintaan yang masih stagnan,“ katanya menambahkan.
Adapun penurunan harga komoditas dijabarkan secara rinci sebagai berikut :
• Minyak : US$74,5/barel (-0,7% YoY)
• Batu Bara : US$137,3/ton metrik (-28,8% YoY)
• Gas Alam : US$2,3/MMBtu (-26,9% YoY)
• CPO : US$954,4/Ton (-0,3% YoY)
Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa harga komoditas mengalami kontraksi akibat masih lemahnya permintaan global, termasuk untuk komoditas penting Indonesia, seperti batu bara dan gas alam yang terkontraksi cukup dalam. Meski begitu, komoditas CPO relatif membaik mengingat kontraksinya semakin tipis.
Sekadar informasi, penurunan harga komoditas tersebut, sejalan dengan masih terkontraksinya penerimaan negara Indonesia secara tahunan, meskipun angkanya relatif membaik. Adapun angkanya per Agustus 2024 adalah Rp1.770 triliun atau terealisasi sebesar 63,4%. Atas catatan tersebut, penerimaan negara terkontraksi 2,5% (YoY).
“Penurunan dari kontraksi pendapatan negara, ini yang kita harapakan agar kita bisa menjaga sehingga pendapatan negara bisa mengejar sesuai dengan targetnya,” pungkas Sri Mulyani.