FAKTA.COM, Jakarta - Kurang dari sebulan, Prabowo Subianto akan meneruskan estafet kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan, terutama untuk mencapai cita-cita pertumbuhan ekonomi 8%.
Di antara berbagai pekerjaan rumah tersebut, perlambatan industrialisasi menjadi hal yang perlu disoroti.
Hal tersebut disampaikan dalam sebuah diskusi panel yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina dan INDEF, Minggu (22/9/2024). Ekonom INDEF, Eisha M Rachbini mengatakan industrialisasi menjadi faktor penting untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 8%.
Menurutnya, ekonomi Indonesia pernah mencapai rata-rata pertumbuhan 8%-9% pada periode (1989-1996). Salah satu pendorongnya adalah industrialisasi yang ditandai dengan tingginya kontribusi sektor manufaktur terhadap perekonomian, bahkan trennya terus meningkat.
“Pada 1989 dari 19% terus meningkat menjadi 25%, industri manufaktur menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi saat itu,” ujar Eisha.
Sayangnya, selama satu dekade terakhir kontribusi sektor manufaktur terhadap perekonomian berada dalam tren penurunannya, bahkan pada 2023 hanya sebesar 18%. Eisha menyampaikan, memang secara siklus ketika sektor manufaktur sudah tumbuh maksimal, maka kontribusinya akan menurun dan digantikan oleh sektor jasa.
Meski begitu, Indonesia cenderung tidak menunjukkan hal tersebut. Pasalnya, pertumbuhan industri belum mencapai taraf penghasilan per kapita setara dengan negara maju. Di samping itu, peralihan ke sektor jasa pun didominasi oleh sektor informal yang rapuh, bukan jasa berketerampilan tinggi.
“Bagaimana produktivitas manufaktur kita terus menurun sejak 2010 dan menjadi semacam red light yang harus diperbaiki,” kata Eisha.
Selain kontribusinya yang semakin menurun, sektor manufaktur juga dihadapkan dengan persoalan rendahnya produktivitas tenaga kerja, seperti produktivitas dan daya saing yang rendah.
“Daya saing share productivity Indonesia juga masih di bawah Thailand. Ekspor manufaktur Indonesia (44%) terhadap total ekspor, masih di bawah China, Vietnam, dan Malaysia. Penggunaan medium high-tech manufacture technology juga masih cukup rendah (37,32%),” pungkas Eisha.
Ekonom Senior, Prof. Didin S Damanhuri juga sependapat. Menurutnya, dalam dekade terakhir Indonesia mengalami proses deindustrialisasi yang sangat radikal. Adapun menurut Didin, ada beberapa hal yang menjadi prasyarat untuk melakukan reindustrialisasi agar pertumbuhan ekonomi dapat terakselerasi.
“Prasyaratnya dengan menjaga stabilitas ekonomi makro, memperbaiki iklim investasi baik di sektor keuangan maupun sektor rill, mempercepat dan memperluas pembangunan infrastruktur yang relevan, menguatkan skema kerja sama pembiayaan investasi dengan swasta baik asing maupun nasional,” ujar Didin.