Menakar Hilirisasi Migas: Dominasi PMA dan Kurangnya Koordinasi Antarsektor

Ilustrasi. (Dokumen Ditjen Migas ESDM)

FAKTA.COM, Jakarta - Kesiapan Indonesia untuk menghadapi hilirisasi industri menjadi sorotan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Namun dalam perjalanannya, hilirisasi masih penuh tantangan.

Pernyataan tersebut disampaikan Direktur Eksekutif ReforMiner, Komaidi Notonegoro dalam Detik leadears forum, Selasa (17/9/2024). Menurut Komaidi, hilirisasi, terutama dalam sektor minyak dan gas (migas), telah berjalan cukup lama, namun masih menghadapi tantangan dalam pelaksanaannya.

Padahal, kata Komaidi, sektor migas memiliki potensi besar dalam meningkatkan perekonomian. "Setiap Rp1 triliun investasi di sektor migas dapat menghasilkan multiplier effect sebesar 7-8 kali lipat,” kata Komaidi

Namun, masalah yang muncul adalah bahwa investasi tersebut tidak selalu kembali kepada masyarakat sekitar, khususnya di wilayah-wilayah yang menjadi basis smelter.

Hilirisasi di Indonesia juga menghadapi tantangan dalam hal investasi, terutama yang berasal dari Penanaman Modal Asing (PMA).

Hilirisasi Buat Dua Provinsi Ini Jadi Raja Pertumbuhan Ekonomi RI

Banyak investasi PMA berasal dari non-domestik yang sering kali tidak memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat lokal, terutama yang tidak memiliki akses terhadap lahan atau aset strategis.

Hal ini diperparah oleh kurangnya koordinasi antara sektor energi, investasi, dan industri.

"Duduk antar sektor itu yang paling mahal. Kolaborasi antar Kementerian ESDM, Kementerian Investasi, dan Kementerian Perindustrian belum sepenuhnya terkoordinasi dengan baik,” jelasnya.

Minimnya koordinasi ini bisa menyebabkan penurunan produksi, yang pada akhirnya berdampak pada pengurangan tenaga kerja ungkap Komaidi.

Salah satu kekhawatiran besar adalah terkait kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT).

Makin Vital, Hilirisasi Beri Kontribusi 26 Persen dari Total Investasi

Komaidi juga memperingatkan bahwa jika Indonesia tidak hati-hati dalam menyusun kebijakan hilirisasi, terutama ketika harga impor naik dan nilai tukar melemah, devisa negara akan lebih banyak digunakan untuk impor.

Hal ini bisa mengurangi cadangan devisa, yang pada akhirnya memengaruhi stabilitas ekonomi nasional.

“Jika dilihat, ketika harga impor migas naik, nilai tukar kita turun karena devisa kita akan dipakai untuk itu,” kata Komaidi.

Dalam konteks perubahan struktur ekonomi, Komaidi mengakui bahwa sektor pertanian mulai tergeser oleh manufaktur dalam beberapa tahun terakhir.

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Place your ads here
Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//