5 Alasan Dominasi Tenaga Kerja Informal Bikin Penerimaan Pajak Tak Optimal

Ilustrasi. (Dokumen Bank Indonesia)

FAKTA.COM, Jakarta - Selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), realisasi penerimaan pajak hanya mencapai targetnya saat terjadi commodity boom. Dalam periode yang sama, tidak banyak perubahan pada lanskap tenaga kerja Indonesia dengan dominasi sektor informal.

Apakah dua hal tersebut berkaitan erat?

Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, dua hal tersebut saling berkaitan. Menurutnya, struktur tenaga kerja yang didominasi oleh pekerja informal diperkirakan akan mempengaruhi penerimaan pajak di Indonesia atas beberapa alasan.

Pertama, meningkatnya tenaga kerja informal akan berimplikasi pada minimnya kontribusi pajak penghasilan. Pasalnya, sektor tenaga kerja informal tidak memiliki penghasilan yang tetap.

Dengan begitu, tidak ada kepastian akan jumlah penghasilannya sehingga seringkali tidak dilaporkan secara resmi.

“Akibatnya, mereka tidak membayar pajak penghasilan secara teratur atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini mengurangi potensi penerimaan pajak penghasilan bagi negara,” kata Josua kepada Fakta.com, Jumat (13/9/2024).

Tenaga Kerja Informal Meninggi, Apa Kabar Program Kartu Prakerja?

Padahal, merujuk kepada dokumen Nota Keuangan RAPBN 2025, selama periode (2020-2024), pajak penghasilan merupakan kontributor terbesar penerimaan pajak negara.

Kedua, sektor informal umumnya tidak terdaftar atau tercatat dengan baik dalam sistem pemerintah, termasuk perpajakan. Kata Josua, ini berimplikasi pada tingginya pelaku usaha yang tidak memiliki NPWP dan tidak terlibat dalam skema perpajakan resmi.

"Hal ini berakibat pada sulitnya pengawasan dan pengumpulan pajak," tutur dia.

Ketiga, menurut Josua, secara umum pekerja informal tidak memiliki literasi keuangan yang baik. “Mereka mungkin kurang memahami kewajiban perpajakan atau cara pelaporan pajak yang semakin memperburuk kepatuhan pajak,” ujar Josua menambahkan.

Potret Tenaga Kerja Informal yang Kian Meninggi di Era Jokowi

Keempat, sektor informal sering kali beroperasi di luar jangkauan kebijakan fiskal formal sehingga kurang ada insentif bagi pelaku usaha untuk patuh terhadap kewajiban perpajakan.

Kelima, banyak pekerja informal yang juga tidak merasakan manfaat langsung dari pajak yang dibayarkan, sehingga mempengaruhi motivasi mereka untuk berpartisipasi dalam sistem perpajakan.

Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, Josua mengatakan pemerintah perlu mendorong formalisasi sektor usaha, terutama UMKM. Dalam hal ini, insentif seperti kemudahan perizinan dan akses ke kredit formal dapat mendorong transisi dari sektor informal ke formal.

Selanjutnya, pemerintah perlu mendorong peningkatan literasi pajak melalui program edukasi tentang pentingnya kepatuhan pajak, terutama bagi pelaku usaha UMKM. Terakhir, Josua bilang penerapan kebijakan pajak perlu disederhanakan dan fleksibel.

“Seperti pajak UMKM atau pajak berbasis omzet yang diperkirakan akan mempermudah pelaku usaha kecil di sektor informal untuk memenuhi kewajiban perpajakannya,” ucapnya.

Industrialisasi Tak Optimal, Makin Banyak Masyarakat jadi Tenaga Kerja Informal

Informasi saja, persentase tenaga kerja informal secara rata-rata dalam 10 tahun terakhir mencapai 58,65%. Artinya, jumlah tenaga kerja informal selalu lebih banyak dibandingkan tenaga kerja formal.

Di samping itu, menurut pemaparan Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti dalam diskusi publik, Kamis (12/9/2024), merujuk kepada data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak di era Jokowi hanya mencapai targetnya di tahun 2021, 2022, dan 2023.

“Itu pun karena harga komoditas yang booming pada saat itu,” pungkas Esther.

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Place your ads here
Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//