Dampak Pengetatan Kebijakan Moneter dalam Sudut Pandang INDEF

Ilustrasi era suku bunga tinggi. (Dokumen Fakta.com/Putut Pramudiko)

FAKTA.COM, Jakarta - Sudah lima bulan sejak Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuannya di level yang tinggi, yakni 6,25%. Di samping itu, suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) juga dipertahankan tinggi.

Kebijakan tersebut dikeluarkan untuk merespons dinamika global untuk mempertahankan nilai tukar rupiah. Namun, apa harga yang harus dibayar sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut?

Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti mengungkap pengetatan kebijakan moneter yang terlalu lama memberikan dampak negatif terhadap perekonomian, termasuk dalam segi fiskal. Hal tersebut ia ungkap pada Diskusi Publik INDEF, Rabu (12/9/2024).

Salah satu indikatornya adalah peningkatan suku bunga SRBI yang lebih tinggi dibandingkan dengan Surat Utang Negara (SUN) 1 tahun. Seperti diketahui, sepanjang Januari-Juni, suku bunga SRBI 6, 9, dan 12 bulan masing-masing naik sebesar 68 bps, 73 bps, dan 69 bps. Sementara itu, SUN 1 tahun hanya meningkat sebesar 27 bps.

“Kenaikan tingkat suku bunga SRBI yang lebih tinggi dibandingkan dengan SUN 1 tahun, maka membuat perekonomian mengalami crowding out,” kata Esther. Menurutnya, hal ini berarti perekonomian akan semakin terkontraksi.

Sinyal The Fed, Era Suku Bunga Tinggi Bakal Berakhir

Esther juga bilang, peningkatan suku bunga BI hingga 6,25% berimplikasi kepada peningkatan yield SBN.

“Dengan adanya peningkatan tingkat suku bunga SBN ini akan meningkatkan juga beban fiskal karena anggaran yang dialokasikan untuk membayar SBN juga lebih besar,” ujar Esther.

Sekadar informasi, selama beberapa tahun terakhir, anggaran pembayaran bunga utang memiliki tren yang meningkat, bahkan jika dirinci berdasarkan jenis belanjanya, pembayaran bunga utang merupakan belanja terbesar kedua dalam RAPBN 2025, yakni Rp552,9 triliun. Angka tersebut hanya berada di bawah belanja lain-lain.

Urgensi relaksasi kebijakan moneter

Dalam kesempatan yang sama, Ekonom INDEF Eko Listiyanto menuturkan, sektor riil sudah memberikan sinyal akan kebutuhan relaksasi kebijakan moneter yang mendesak untuk melakukan ekspansi. Di antaranya terlihat melalui tingginya angka kelas menengah yang turun kasta.

Eko juga bilang, meskipun dampak dari perubahan kebijakan moneter tidak langsung diterima, tetapi sinyal-sinyal yang muncul mampu mempengaruhi pasar. Menurutnya, perlu ada sinyal ke pasar bahwa ke depan perekonomian akan membaik. Karena itu, penundaan penurunan suku bunga dapat merusak momentum

“Memang butuh lebih kepastian tentang sinyal relaksasi moneternya sehingga dari sini harus dimulai dari bunga acuan, yakni BI Rate yang sekarang masih di posisi 6,25%,” ucap Eko.

Menanti Penurunan Bunga Acuan, Kapan Bakal Kejadian?

Tambahan informasi, kontraksi sektor riil terlihat pada beberapa aspek, seperti

  • Tren PHK yang masih berlanjut, per Juli 2024 sudah mencapai 42.863 orang.

  • Sejak Maret, Purchasing Manager Index (PMI) terus menurun, bahkan sudah masuk ke dalam zona kontraktif. Per Agustus 2024, angkanya 48,9 dan merupakan yang terendah sejak tiga tahun terakhir.

  • Jumlah kelas menengah tahun ini sebesar 47,85 juta, angka ini menurun dari tahun 2019, yakni 57,33 juta. Secara persentase pun terjadi penurunan sebesar 4,32%, semula 21,45% di tahun 2019 kini menjadi 17,13%.

Ekonom INDEF, Abdul Manap Pulungan menegaskan kembali urgensi penurunan suku bunga. Pasalnya, dengan tingkat suku bunga yang tinggi, meski penyaluran kredit tumbuh sebesar 12% per Juni 2024, tetapi kredit pada sektor prioritas justru tumbuh di bawahnya dan cenderung melambat.

Meski Rasio Utang ke PDB Rendah, APBN 2025 Terbebani Pembayaran Bunga

Pulungan bilang, itu yang membuat pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 5,05% saja, padahal pertumbuhan kredit cenderung tinggi.

“Pertumbuhan kredit pada sektor prioritas atau tradable, yaitu sektor yang labor incentive, justru tumbuhnya lebih rendah,” kata Pulungan. Adapun per Juni 2024, rinciannya adalah sebagai berikut,

- Pengolahan : 9,9%

- Pertanian : 8,5%

- Perikanan : 3%

“Ini mengindikasikan bahwa kalaupun pertumbuhan kredit tinggi, tetapi pertumbuhannya rapuh karena tidak bergerak pada sektor-sektor yang kita butuhkan,” pungkas Pulungan.

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Place your ads here
Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//