FAKTA.COM, Jakarta - Dua pejabat PT Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Timur (BPD NTT) terjerat kasus kredit fiktif. Keduanya kini menjadi tersangka dan akan dipidana dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp200 miliar.
Temuan kasus tersebut disampaikan Kepala Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tongam L Tobing, Kamis (4/7/2024). Dalam keterangannya, Tongam menyampaikan, pihaknya telah melaksanakan pelimpahan berkas perkara (Tahap 1) kasus di BPD NTT kepada Jaksa Penuntut Umum.
"Setelah dipelajari oleh Jaksa Penuntut Umum disimpulkan bahwa berkas hasil penyidikan perkara pidana atas nama para Tersangka sebagaimana pasal yang dipersangkakan sudah lengkap (P.21)," kata Tongam.
Menindaklanjuti perkara yang sudah P.21 dimaksud, Tongam pun menegaskan, Penyidik OJK melakukan koordinasi dengan Penuntut Umum untuk rencana pelaksanaan Tahap 2, yaitu penyerahan tersangka dan barang bukti yang dilaksanakan di Kejaksaaan Negeri Kupang.
Lebih rinci, Tongam menjelaskan, perkara ini terjadi pada periode 4 April-19 Agustus 2019 yang melibatkan AS (Direktur Pemasaran Kredit BPD NTT periode 11 Maret 2015-5 Mei 2020 merangkap Plt. Direktur Utama periode Mei 2018-Mei 2019) dan BRP yang merupakan Kepala Divisi Pemasaran Kredit BPD NTT periode November 2016-September 2019.
Keduanya diduga dengan sengaja menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam proses pemberian tiga fasilitas kredit kepada PT Budimas Pundinusa (PT BMP) dengan total plafon Rp100 miliar. Fasilitas kredit tersebut terbagi menjadi tiga yaitu Kredit Modal Kerja (KMK) Standby senilai Rp32 miliar, Kredit Investasi (KI) Jadwal Pembayaran (KI-JP) senilai Rp20 miliar dan KMK-RC senilai Rp48 miliar.
"Dalam menangani dugaan tindak pidana perbankan tersebut, OJK telah melakukan berbagai upaya yaitu mulai dari tahapan pengawasan, pemeriksaan khusus sampai dengan penyelidikan dan penyidikan. Dari hasil yang ditemukan, pencairan kredit yang dilakukan, sebagian dananya tidak dialokasikan sesuai tujuan kredit," ujar Tongam.
Lebih lanjut, Tongam memaparkan bahwa dalam proses penyelidikan dan penyidikan ditemukan telah terjadi tindak pidana perbankan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a dan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 56 KUHP.
Adapun para tersangka tersebut diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10 miliar dan paling banyak Rp200 miliar.