Perang Tarif Trump Bikin Penipuan Online Makin Liar, Waspada Modusnya

Ilustrasi. Perang dagang yang dipicu Presiden AS dilaporkan memicu serangan siber. (dok. Freepik)
FAKTA.COM, Jakarta – Tak cuma berdampak pada perekonomian global, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang dipicu oleh kebijakan tarif resiprokal turut memicu lonjakan kejahatan siber.
Presiden AS Donald Trump, mengumumkan kenaikan tarif impor produk asal China menjadi 125 persen pada Rabu (9/4/2025). Hal itu dilakukannya sebagai respons atas rencana China yang mengenakan tarif balasan terhadap seluruh produk asal Amerika sebesar 84 persen, dari sebelumnya yang hanya 34 persen.
“Berdasarkan kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan China terhadap pasar dunia, saya dengan ini menaikkan tarif yang dikenakan Amerika Serikat terhadap China menjadi 125 persen, berlaku segera,” ujar Trump dalam pernyataannya di Truth Social, beberapa waktu lalu.
Kini tarif ekspor China ke Amerika berkisar di angka 245 persen, tergantung jenis komoditas ekspornya. Selain itu, angka tarif ekspor ke AS buat negara lain juga bervariasi.
Lonjakan penipuan
Pakar keamanan siber di Kaspersky Threat Research, Roman Dedenok, menilai ketidakstabilan ekonomi akibat perang dagang potensial dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber untuk melancarkan aksinya.
“Selama periode ketidakpastian ekonomi—baik yang disebabkan oleh tarif, peristiwa geopolitik, atau gangguan pasar lainnya—risiko penipuan biasanya meningkat," ujar Roman, dalam rilisnya, Senin (21/4/2025).
"Pelaku kejahatan mungkin mencari cara untuk mengeksploitasi situasi di beberapa area utama,” lanjutnya.
Terpisah, CEO perusahaan keamanan siber BforeAI, Luigi Lenguito, mengungkapkan pihaknya mencatat lonjakan pendaftaran domain berbahaya yang berkaitan dengan isu tarif selama kuartal pertama (Januari-Maret) 2025, yang mencapai 301 domain.
“Trump sudah membicarakan soal tarif bahkan sebelum pemilu, jadi para penjahat siber sebenarnya sudah mempersiapkan infrastruktur serangan mereka jauh sebelum kebijakan ini resmi diumumkan,” ujar dia, dikutip dari The Register, Kamis (10/4/2025).
Untuk mencegahnya, Roman mengimbau masyarakat agar lebih waspada dengan cara:
- Selalu memverifikasi keabsahan penjual sebelum bertransaksi.
- Gunakan metode pembayaran yang menawarkan perlindungan dari penipuan.
- Waspada terhadap penawaran harga yang terlalu murah dan tidak masuk akal.
- Investor harus melakukan riset mendalam dan hanya mengandalkan sumber informasi tepercaya.
- Bersikap skeptis terhadap penawaran mendadak yang menjanjikan keuntungan besar.

Infografis penipuan online. (Fakta.com)
Untuk lebih jelasnya, berikut sejumlah modus serangan siber yang terkait perang dagang dan perang tarif ekspor ini dirangkum dari keterangan Kaspersky dan BforeAI:
1. Penipuan belanja daring
Modus ini diprediksi akan meningkat seiring lonjakan permintaan barang yang dikhawatirkan naik harga akibat kebijakan tarif baru.
Pelaku kejahatan siber biasanya membuat situs web palsu yang tampak meyakinkan, atau menyebar email penipuan dengan tawaran menarik bertajuk “diskon pra-tarif.”
Konsumen yang tergesa-gesa ingin mendapatkan harga murah sering kali lengah dan tanpa sadar menyerahkan informasi pribadi maupun data keuangan kepada penipu.
Akibatnya, kata Kaspersky, mereka bisa mengalami kerugian finansial hingga risiko pencurian identitas.
2. Malware manfaatkan momen
Modus kedua berkaitan dengan gangguan rantai pasokan yang memaksa bisnis maupun konsumen untuk mencari pemasok alternatif dalam waktu singkat.
Sayangnya, proses verifikasi yang terburu-buru membuka celah bagi produk palsu untuk masuk ke pasar. Kondisi ini dimanfaatkan oleh penjahat dunia maya dengan menyematkan malware atau perangkat lunak jahat.
Kaspersky menemukan varian dari Trojan Triada yang tertanam langsung di firmware Android palsu, yang dijual melalui pengecer tidak resmi. Malware ini memungkinkan pelaku mengambil alih kendali penuh atas perangkat korban.

Ilustrasi. Serangan siber kini makin cepat dan canggih lantaran memakai AI. (dok. Freepik)
3. Penipuan modus phishing
Penjahat siber kerap memanfaatkan situasi ekonomi yang tidak stabil untuk melancarkan penipuan berkedok investasi.
Mereka biasanya menyamar sebagai lembaga keuangan resmi dan menawarkan iming-iming keuntungan besar yang diklaim “terjamin,” seolah-olah berdasarkan informasi orang dalam alias modus phishing.
Selain itu, pelaku kejahatan siber juga sering menyebarkan kampanye phishing melalui email atau membuat situs web palsu yang dirancang untuk mencuri data sensitif korban.
Ada pula phishing dengan memakai modus pengiriman barang. Penjahat siber mengatasnamakan perusahaan pengiriman seperti DHL, FedEx, atau UPS.
Mereka mengirimkan pesan kepada korban yang mengklaim ada paket tertahan dan harus membayar tarif bea masuk baru akibat kebijakan tarif resiprokal Trump.
Korban lalu diarahkan ke situs palsu untuk mengisi data pribadi dan melakukan pembayaran.
4. Penipuan faktur palsu
Modus ini menyasar bisnis kecil hingga menengah, dengan pelaku mengirimkan invoice palsu yang tampak sah, berisi rincian biaya impor baru yang seolah-olah berubah akibat adanya kebijakan tarif resiprokal.
5. Penipuan tagihan paket fiktif
Skema penipuan ini memanfaatkan situasi ketika korban baru saja menerima kiriman paket resmi dari perusahaan logistik seperti FedEx.
Beberapa hari setelah paket diterima, seseorang akan datang ke rumah korban dan mengaku sebagai petugas pengiriman yang “lupa menagih tarif bea masuk.” Pelaku biasanya membawa kwitansi dan meminta pembayaran langsung di tempat.
BforeAI mengungkap, pelaku penipuan ini diduga menggunakan malware pencuri informasi atau spyware yang terpasang di perangkat korban. Program berbahaya tersebut memungkinkan penipu mengetahui secara real-time kapan sebuah paket dikirim dan diterima di alamat korban.
“Penipuan seperti ini sangat meyakinkan dan dirancang dengan amat baik, sehingga sangat mudah membuat orang tertipu,” imbuh Lenguito.