TikTok Diduga Dapat Persenan dari 'Ngemis Online' Bocah, Termasuk di RI

Ilustrasi. Tren ngemis online turut memberi pemasukan buat TikTok. (dok. Freepik)
FAKTA.COM, Jakarta – Media sosial asal China, TikTok, disebut mendapat ‘persenan’ dari tren meminta-minta gift alias ngemis online yang melibatkan anak-anak di platformnya.
“Penyelidikan The Observer menemukan praktik ini tersebar luas. Siaran langsung pengemisan dipromosikan secara aktif oleh algoritma dan TikTok mendapat keuntungan dari konten tersebut, mengambil biaya dan komisi hingga 70 persen,” menurut keterangan tertulis Shanti Das, jurnalis The Observer, dikutip dari The Guardian, Minggu (6/3/2025).
Pengguna TikTok berlomba-lomba untuk meminta gift yang nantinya bisa ditukarkan menjadi uang. Tidak hanya mengemis, kegiatan lainnya juga dilakukan livestreamer termasuk sejumlah aksi berbahaya demi mendapatkan perhatian dan hadiah.
Dari analisis yang dilakukan selama rentang Januari-April 2025, sejumlah negara disebut menjadi bagian dalam tren itu antara lain Indonesia, Pakistan, Afganistan, Siria, Mesir, dan Kenya.
Merespons temuan ini, platform asal China itu menjelaskan telah “mengambil tindakan tegas”, termasuk menutup siaran langsung dan menghapus akun-akun yang dilaporkan secara permanen.
“Setiap konten langsung yang menampilkan anak-anak meminta hadiah tidak diizinkan di TikTok,” ujar juru bicara TikTok.
Perusahaan menyebut jumlah komisi dan biaya yang diambil bervariasi. Para streamer tidak menerima nilai total dari gift yang didapat, tetapi diberi "diamond" berdasarkan gift dan popularitas serta durasi streaming mereka. Mereka biasanya hanya mendapat sekitar setengah dari nilai hadiah awal, tetapi terkadang hanya 30 persen.
TikTok juga tidak menyangkal mendapatkan bagian dari tren tersebut. Mereka mengatakan sekitar 30 persen dari pendapatan hadiah dialokasikan untuk “biaya toko aplikasi dan biaya penyedia pembayaran”.
Kecaman keras
Pengamat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Kemiskinan Ekstrem dan Hak Asasi Manusia, Olivier de Schutter, menuduh TikTok mengambil keuntungan dari penderitaan yang dialami orang lain. Ia pun mempertanyakan ‘komisi’ yang diambil TikTok dari tren tersebut.
Ia juga meminta kepada platform dari Negeri Tirai Bambu itu untuk membuat kebijakan yang lebih ketat guna menanggulangi tren mengemis di platformnya.

Salah satu <i>livestreamer </i>lokal di TikTok, Gunawan Sadbor. Ia pernah terjerat kasus <i>gift </i>dari judi online. (tangkapan layar TikTok Sadbor_Joged)
"Mengambil untung dari penderitaan rakyat sama saja dengan pemangsaan digital," ujarnya.
"Saya mendesak TikTok untuk segera mengambil tindakan dan menegakkan kebijakannya sendiri tentang pengemisan eksploitatif dan mempertanyakan secara serius 'komisi' yang diambilnya dari orang-orang paling rentan di dunia," lanjut dia.
Senada, pakar kejahatan digital di Save the Children, Jeffrey DeMarco, mengatakan, “Praktik yang terdokumentasi tersebut merupakan pelanggaran yang signifikan."
"Tindakan segera harus diambil untuk memastikan platform tidak lagi mengizinkan, atau mendapatkan keuntungan langsung atau tidak langsung, dari konten seperti ini.”
Di sisi lain, peneliti di Pusat Kriminologi Oxford, Maya Lahav, mengatakan bahwa mengatur siaran langsung merupakan tantangan yang berat, karena membutuhkan sumber daya yang banyak.
Lahav juga menambahkan bahwa ada dilema etika dalam menentukan apakah konten tersebut seharusnya dihapus atau tidak.
Ia menyoroti bahwa bukan cuma pengemis daring yang melibatkan anak, karena banyak influencer lain yang juga memanfaatkan anak-anak mereka untuk memperoleh keuntungan.
Walau demikian, ia mengatakan ada kekhawatiran serius terkait pelanggaran hak asasi manusia, termasuk ketika ada pihak ketiga yang terlibat, atau ketika orang yang ditampilkan masih terlalu muda serta orang yang sedang sakit sehingga tidak bisa memberikan persetujuan.
“Inti persoalannya adalah, kapan sesuatu itu berubah menjadi eksploitasi? Itu batas yang harus mereka jaga,” pungkasnya.