Bahlil Akui Dilematis Soal EBT usai AS Keluar dari Perjanjian Iklim Paris

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, di Jakarta, Kamis (30/1/2025). (ANTARA/Putu Indah Savitri)
FAKTA.com, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengakui keluarnya Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Iklim Paris (Paris Agreement) membuat Indonesia dalam posisi dilematis dalam hal pembiayaan energi baru dan terbarukan.
“Saya jujur mengatakan, sebenarnya kita pada posisi yang sangat dilematis untuk mengikuti gendang [Paris Agreement] ini,” ucap Bahlil dalam ajang bertajuk 'Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Tantangan dan Peluang di Era Baru', di Jakarta, Kamis (30/1/2025).
Presiden AS Donald Trump dua kali menarik negaranya dari Perjanjian Iklim Paris, yakni di periode pertamanya pada 1 Juni 2017, dan di periode keduanya pada 20 Januari 2025.Komitmen negara-negara di dunia untuk mengembangkan energi baru terbarukan, lanjut Bahlil, berangkat dari komitmen Paris Agreement.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa (28/1/2025) memastikan AS secara resmi memberi tahu mengenai pengunduran dirinya dari Perjanjian Iklim Paris.
Paris Agreement sendiri membuat hampir semua lembaga keuangan dunia mau membiayai proyek energi hijau di berbagai negara.
Bahlil mengatakan mau tidak mau Indonesia mengikuti konsensus bersama tersebut. Namun, AS sebagai salah satu inisiator Paris Agreement menyatakan mundur setelah Donald Trump terpilih lagi sebagai presiden.
“Engkau (AS) yang memulai, tetapi engkau (AS) juga yang mengakhiri,” seloroh dia, menyitir lagu karya Meggy Z.
Menurut Bahlil, apabila inisiator dari Paris Agreement saja mundur, terdapat keraguan bagi Indonesia untuk melanjutkan komitmennya terhadap perjanjian tersebut.
“Yang membuat ketidakpastian ini salah satu di antaranya adalah dinamika politik global. Paris Agreement ini kan merupakan konsensus global, kita dipaksa untuk mengikuti itu, padahal baseline yang kita punya tidak sebaik mereka, negara-negara G7 tersebut,” kata Bahlil.
Ia menyoroti tingginya biaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan energi baru terbarukan apabila dibandingkan dengan menggunakan energi fosil di Indonesia.
Dengan keluarnya Amerika Serikat sebagai salah satu inisiator dari Paris Agreement dan surutnya lembaga pembiayaan untuk proyek-proyek energi terbarukan, Bahlil mempertimbangkan ulang nasib pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia.
“Kita jangan sampai terjebak. Makanya kita harus hitung dengan baik. Ini (pengembangan energi baru dan terbarukan) antara gas dan rem, seperti mengelola COVID-19,” ucap Bahlil.
Meski demikian, untuk saat ini, Bahlil menyatakan Indonesia masih berkomitmen mengembangkan energi baru dan energi terbarukan sebagai bentuk dari tanggung jawab sosial dalam rangka menjaga kualitas udara.
“Saya pikir, ada bagusnya juga untuk tetap kita memakai energi baru-terbarukan sebagai konsensus pertanggungjawaban kita sebagai makhluk sosial, untuk mengamankan udara kita,” ucap dia.
Perjanjian Paris tentang perubahan iklim ini diadopsi pada 2015 oleh 195 anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim.
Tujuannya adalah untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata global hingga jauh di bawah 2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, dan sebaiknya mendekati 1,5 derajat Celsius.
Pendanaan tak terpengaruh
Keluarnya AS dari Perjanjian Paris (Paris Agreement) dapat berdampak pada program pendanaan, seperti Just Energy Transition Partnership (JETP).
Meski demikian, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM) Eniya Listiani Dewi menyebut keluarnya AS tidak mempengaruhi pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) di Indonesia.
“Nah, saya rasa sih enggak terlalu [berpengaruh], ya. Pendanaan tadi kan ada dari Jepang, dari macam-macam,” ucap dia, ketika dijumpai setelah acara yang sama, dikutip dari Antara.

Perubahan iklim jadi salah satu tantangan utama ekonomi global. (Dok. Dewan Ekonomi Nasional)
Eniya menjelaskan tren energi baru dan terbarukan di Indonesia terus meningkat, meski partai yang berkuasa di AS berganti-ganti dari Partai Republik menjadi Partai Demokrat kemudian kembali ke Republik.
Ia merujuk pada periode pertama kepresidenan Donald Trump yang juga menyatakan ke luar dari Paris Agreement.
“Walaupun yang lalu kan ada Republican juga kan, bukan hanya Demokrat. Ini EBT kita kan naik terus dari 2017,” ungkap Eniya.
Pendanaan dari JETP ini, kata dia, salah satunya untuk proyek pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), sebagian besar berasal dari Jepang, bukan dari Amerika Serikat.
“Jadi, pendanaan yang agresif malah dari wilayah Asia, bukan AS,” ucapnya. (ANT)














