5 Tanda Indonesia Makin Otoriter Versi Amnesty International

Demo RUU TNI, di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Senin (23/3/2025). Penyusunan RUU ini mengindikasikan proses yang otoriter. (ANTARA/Naufal Ammar Imaduddin)
FAKTA.COM, Jakarta - Amnesty International Indonesia (AII) mengungkap lima fenomena yang menandakan otoritarianisme semakin menguat di Indonesia sepanjang 2024.
Hal tersebut didasarkan pada laporan Amnesty International yang berjudul 'Situasi Hak Asasi di Dunia'.
“Dan sepanjang tahun terakhir, ada lima fenomena menguatnya praktik otoritarianisme di dunia," kata Direktur AII Usman Hamid, di Menteng, Jakarta, Selasa (29/4/2205).
"Kelima fenomena inilah yang sebenarnya juga terjadi di Indonesia," tambahnya.
Terkait hal ini, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai sempat mengklaim militerisme seperti pada masa Orde Baru sangat tidak mungkin terjadi saat ini.
Pigai pun menegaskan sangat tidak mungkin sistem militerisme maupun otoritarianisme akan hidup kembali di Indonesia.
"Karena pemerintah sekarang adalah pemerintah sipil," kata dia, di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Selasa (11/3/2025) melansir Antara.
Terlepas dari itu, Usman mengurai lima ciri Indonesia yang makin otoriter itu:
1. Serangan terhadap supremasi hukum
Salah satu contoh serangan terhadap hukum adalah perubahan aturan batas usia pencalonan Wakil Presiden melalui putusan (Mahkamah Konstitusi) yang meloloskan anak Presiden ketujuh RI Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, ke Pilpres 2024.
Atas hal tersebut, Ia menyebut Komite HAM PBB mengkritik pelaksanaan Pemilu 2024.
“Untuk pertama kalinya, Pemilu Indonesia dikritik oleh Komite HAM. Komite yang sangat kredibel, terdiri dari para ahli, dan berada di bawah persekitaran bangsa-bangsa (PBB),” kata Usman.
2. Serangan terhadap kebebasan berekspresi
Negara, ujar Usman, masih cenderung terus memenjarakan orang-orang kritis dengan tuduhan menghina, mencemarkan nama baik lembaga, individu maupun pejabat negara atau keluarga mereka, di media sosial maupun elektronik.
Dari Januari hingga Desember 2024, Amnesty mencatat 13 pelanggaran kebebasan berekspresi dengan 15 korban yang dituduh melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Hingga 2025, Usman mengatakan kriminalisasi terus terjadi walaupun ada aturan hukum yang melindungi warga yang ingin berpartisipasi (Anti-SLAPP).
“Fenomena serangan terhadap kebebasan berekspresi ini mencapai level yang mengkhawatirkan,” ucapnya.
Berikut contoh kasusnya:
1. Penangkapan seorang aparatur sipil negara (ASN) dan seorang mahasiswa di Bangka Belitung dalam kasus pencemaran nama baik. Mereka mengunggah konten tentang pejabat rumah sakit umum daerah Pangkalpinang.
2. Septia Dwi Pertiwi didakwa pencemaran nama baik hanya karena mengkritik pimpinan perusahaan tempat dia bekerja. Diputus bebas pada 22 Januari 2025 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Septia dibawa ke tingkat kasasi oleh Jaksa pada 17 Februari 2025.
Selain itu, Usman menyebut sepanjang 2024 terdapat 123 kasus serangan terhadap 288 pembela HAM. Bentuknya berupa pelaporan korban ke polisi, kriminalisasi, penangkapan sewenang-wenang, intimidasi dan serangan fisik, bahkan hingga percobaan pembunuhan.
Dari 123 kasus tersebut, jurnalis menjadi korban paling banyak diserang di 2024. Dalam catatan AII, ada 62 serangan terhadap 112 jurnalis.

Peluncuran laporan 'Situasi Hak Asasi di Dunia' dari Amnesty International Indonesia, di Jakarta, Selasa (29/4/2205). (Fakta.com/Hendri Agung)
3. Penyalahgunaan teknologi
Amnesty telah menerbitkan laporan penelitian yang merinci penjualan dan penggunaan perangkat pengintai (spyware) dan teknologi pengawasan yang sangat mengganggu dari 2017 hingga 2023.
Banyak contoh impor atau penggunaan perangkat lunak mata-mata atau spyware oleh perusahaan dan lembaga negara, termasuk Polri dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Peralatan tersebut berasal dari Israel, Yunani, Singapura, dan Malaysia.
“Penggunaan spyware akan semakin menggerus ruang-ruang sipil yang menyempit selama sepuluh tahun terakhir akibat meningkatnya kebijakan dan praktik-praktik otoriter."
"Itu sebabnya parlemen dan pemerintah harus segera memberlakukan peraturan yang lebih melindungi privasi warga di ruang digital, termasuk larangan atas spyware yang invasif,” kata Usman Hamid.
Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang disahkan pada tahun 2022, kata Usman, secara resmi mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober. Namun, Pemerintah belum sepenuhnya merumuskan peraturan pelaksanaannya, termasuk membentuk badan perlindungan data khusus seperti yang diamanatkan oleh undang-undang.

4. Diskriminasi terhadap kelompok minoritas
Usman menyebut telah terjadi 8 kasus diskriminasi terhadap minoritas agama sepanjang 2024. Diskriminasi tersebut dalam bentuk penolakan rumah ibadah, penyegelan rumah ibadah, perusakan rumah ibadah, dan intimidasi atau larangan beribadah.
Contohnya, pelarangan yang dilakukan sejumlah warga di Cibinong terhadap perayaan Natal oleh Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI), 8 Desember 2024. Selain itu, aksi penolakan sejumlah masyarakat atas pendirian gereja Mawar Sharon di Pegambiran, Cirebon, 2 November 2024.
“Dalam pelanggaran kebebasan beragama pelakunya adalah negara dan aktor non-negara. Negara membiarkan praktik diskriminatif dan intoleran atas kaum minoritas dalam menjalankan agama mereka sesuai keyakinan,” kata Usman Hamid.
5. Proyek ekonomi tanpa memperhatikan HAM dan alam
Sejumlah Proyek Strategis Nasional dinilai tidak menghormati hak masyarakat, tidak melibatkan partisispasi bermakna dari masyarakat, tidak ada proses konsultasi, dan tidak melalui proses persetujuan di awal atas dasar informasi.
Contonya adalah PSN Rempang Eco City dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
“Masyarakat adat tidak bisa disebut masyarakat adat kalau ia dilepaskan dari tanahnya,” ujar Usman.
Usman juga menyebut proyek lumbung pangan (food estate) di Papua mesti dihentikan karena tidak memperhatikan iklim.
“Hanya tiga hutan di dunia yang tersisa, yang bisa digolongkan sebagai paru-paru. Yang pertama adalah hutan di Papua, kedua hutan Amazon di Amerika Latina, dan yang ketiga adalah hutan Kongo di Afrika,” imbuh Usman.
“Tanpa ketiga hutan itu, dunia tidak lagi punya paru-paru. Tanpa paru-paru dunia [kita] tidak bisa hidup,” sambungnya.
Demo tolak RUU TNI
Aparat mengejar massa demo tolak RUU TNI hingga sekitar Spark, Jakarta, Kamis (27/3/2025). (Fakta.com/Dewi Yugi Arti)