DPR Tunda Revisi KUHAP, Simak 2 Alasannya

Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengummkan penundaan pembahasan RUU KUHAP di masa sidang DPR kali ini, di Jakarta, Kamis (17/4/2025). (Fakta.com/Dewi Yugi Arti)
FAKTA.COM, Jakarta - Revisi Undang-Undang (RUU) KUHAP tidak akan dibahas dalam masa persidangan DPR kali ini karena setidaknya dua hal.
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menuturkan alasan pertama adalah Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 yang lebih pendek dari biasanya, yakni 25 hari.
"Karena masa sidang ini praktis hanya satu bulan dan hanya berapa hari kerja ya? Hanya 25 hari kerja. Maka kami bersepakat belum di masa sidang saat ini, kita hold dulu," papar dia, dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (17/4/2025).
Penundaan pembahasan RKUHAP.
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengummkan penundaan pembahasan RUU KUHAP, di Jakarta, Kamis (17/4/2025). (Fakta.com/Dewi Yugi Arti)
"Kemungkinan besar [RUU KUHAP dibahas] baru di masa sidang yang akan datang," lanjutnya.
Habiburokhman menjelaskan masa sidang biasanya berlangsung selama 2,5 bulan. Sementara, masa sidang kali ini hanya satu bulan. Maka dari itu, Komisi III DPR sepakat untuk menunda pembahasan RUU KUHAP, karena takut tak bisa dikejar dalam masa sidang kali ini.
Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra itu menambahkan pembahasan undang-undang idealnya dibahas dalam dua kali masa sidang.
Jika pembahasan RUU KUHAP dipaksakan untuk dilakukan pada masa sidang kali ini, Habiburokhman menilai ada kemungkinan pembahasan tak selesai dalam dua kali masa sidang.
"Masa sidang kali ini agak unik, cuma satu bulan. Jadi takutnya enggak memenuhi ketentuan, bisa lebih dari dua kali masa sidang," tutur dia.
Alasan kedua, kata Habiburokhman, adalah banyaknya masukan dari masyarakat sipil agar memperbanyakan penyerapan aspirasi dari masyarakat.
"Kami mendapat masukan dari rekan-rekan semua agar lebih memperbanyak penyerapan lagi aspirasi dari masyarakat. Dan ini makanya satu bulan ke depan kami membuka diri terhadap masukan-masukan dari masyarakat terkait KUHAP," ujarnya.
Habiburokhman pun menanggapi hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) periode 22 - 26 Maret 2025 yang menyatakan sebanyak 70,3 persen responden tidak mengetahui adanya pembahasan RUU KUHAP.
Habiburokhman mengatakan wajar saja masyarakat tak mengetahui adanya pembahasan RUU KUHAP, sebab RUU KUHAP sebenarnya belum memasuki kick off pembahasan.
"Ya tentu saja karena ini kan belum pembahasan. Kan pembahasan itu dimulai dengan rapat Panja (Panitia Kerja, Red). Jadi belum kick off saja sudah ada sekitar 30 persen orang publik yang tahu undang-undang ini akan dibahas," dalihnya.
Draf RUU KUHAP yang beredar sendiri dikritik kalangan masyarakat sipil dan akademisi.
Muhammad Rustamaji, Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, menyoroti kewenangan penyidik polisi yang makin besar pada RUU KUHAP.
Yakni, posisi baru polisi sebagai penyidik utama. Menurutnya, kewenangan baru ini berpotensi penyalahgunaan kekuasaan.
"Penyidik Polri jadi koordinator penyidik-penyidik yang lain karena sebagai penyidik utama, terutama penyidik PNS," katanya, Jumat (11/4/2025) melansir Antara.
Menurut dia, seharusnya ada prinsip kesetaraan di antara penyidik, tanpa perlu ada istilah penyidik utama. Apalagi, sebelumnya hanya ada penyidik umum dan khusus.