Pemerintah Diminta Maksimalkan Perlindungan WNI yang Ditahan di AS

Ilustrasi - Penangkapan. (ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi)
Fakta.com, Jakarta - Anggota Komisi I DPR, Junico Siahaan, menyoroti penahanan seorang mahasiswa berkewarganegaraan Indonesia (WNI) di Amerika Serikat (AS). Junico meminta Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan seluruh jajaran perwakilan diplomatik Indonesia di AS untuk secara aktif memastikan terpenuhinya hak-hak WNI yang ditangkap itu dalam menjalani proses peradilan di negara asing.
"Kami mendesak Kemlu dan KJRI Chicago untuk terus memberikan pendampingan maksimal terhadap WNI kita yang ditangkap di Amerika Serikat. Ini bukan hanya soal kasus hukum perorangan, tetapi menyangkut marwah negara dalam melindungi warganya di luar negeri," kata Junico Siahaan dalam keterangan rilisnya, Rabu (16/4/2025).
Diketahui, seorang mahasiswa Indonesia bernama Aditya Harsono Wicaksono yang tinggal di Marshall, Minnesota, ditangkap oleh sejumlah agen Badan Imigrasi dan Bea Cukai AS atau Immigration and Customs Enforcement (ICE) di tempat kerjanya pada 27 Maret 2025.
Penahanan Aditya dilakukan beberapa hari setelah visa mahasiswanya dicabut secara tiba-tiba. Pria 33 tahun itu diduga ditangkap karena mengikuti aksi protes terkait kematian George Loyd yang memicu gerakan Black Lives Matter pada 2021.
Saat ini, Aditya masih ditahan di Kandiyohi County Jail, Marshall, Minnesota. Pihak Kemlu dan Kementerian Hukum disebut telah melakukan pendampingan untuk Aditya.
"Indonesia harus menunjukkan bahwa kita serius dalam memperjuangkan hak-hak hukum setiap warga negara, apalagi ketika menghadapi sistem hukum asing yang memiliki dinamika dan tantangan tersendiri. Pendampingan hukum harus dilakukan secara intens dan profesional," tutur Junico.
Adapun, Aditya juga pernah tercatat mendapat gugatan hukum karena melakukan tindak perusakan properti yang masuk fourth degree offense saat melakukan aksi protes. Ia ditangkap dalam demonstrasi setelah diberlakukan jam malam di Minnesota. Aditya juga telah menjalani persidangan dan diputuskan bebas dengan jaminan.
Aditya sebelumnya memegang visa pelajar F-1 dan telah menyelesaikan gelar masternya di Southwest Minnesota State University pada 2023. Saat visanya dicabut, Aditya sebenarnya tengah menanti proses permanen tinggal di AS melalui pengajuan kartu hijau (green card) usai menikah dengan warga setempat.
Atas dasar tersebut, Junico menilai kasus ini merupakan pengingat bahwa dinamika sosial-politik di negara seperti AS sangat kompleks. Ia pun mengimbau WNI yang bermigran untuk cermat melihat situasi di negeri orang.
"Kami mengimbau WNI, khususnya pelajar dan diaspora di AS, untuk lebih berhati-hati dalam bersikap dan menyuarakan opini. Ini bukan soal membatasi kebebasan berekspresi, tetapi lebih kepada memahami konteks politik dan hukum yang berlaku di negara tempat tinggal masing-masing,” ujar Junico.
Junico berpendapat kebebasan berekspresi itu merupakan hak setiap orang, apalagi dalam menyangkut hal-hal kemanusiaan. Namun, ia menekankan untuk lebih berhati-hati dalam menyuarakan pendapat, utamanya di AS, terlebih apabila berstatus sebagai pendatang.
Politisi Fraksi PDIP yang bekerja di komisi yang membidangi urusan luar negeri itu juga menyoroti tantangan yang dihadapi WNI di negara seperti AS yang sistem hukumnya kompleks dan tidak selalu mudah dipahami. Menurut Junico, ketika seseorang sudah ditetapkan sebagai pelanggar oleh otoritas seperti di AS, maka proses hukum bisa menjadi sangat sulit apalagi bagi warga negara asing.
“Maka kehadiran negara sangat diperlukan. Kita tahu Amerika Serikat ini negara yang unik. Kalau mau dibilang aneh juga bisa. Terutama dengan pemimpinnya yang sekarang, peraturannya sering berubah-ubah," ucap Junico.
Junico pun mengingatkan pemerintah agar segara mengisi posisi Duta Besar RI untuk AS yang sudah kosong selama dua tahun. Ia mengatakan kehadiran Dubes RI untuk AS sangat diperlukan, utamanya untuk menangani berbagai kasus terkait WNI yang berada di negeri Paman Sam itu.
"Tanpa kehadiran duta besar, respons terhadap kasus-kasus seperti ini bisa menjadi lebih lambat dan tidak maksimal. Kita butuh wakil yang mampu membuka dialog langsung dengan pemerintah AS demi melindungi kepentingan warga kita. Kasus seperti ini harus menjadi momentum refleksi. Perwakilan kita di luar negeri bukan hanya menjadi penjaga hubungan bilateral, tetapi juga garda depan perlindungan warga negara,” tandasnya.
Senada, Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, menuturkan seharusnya Aditya tak perlu ditahan, sebab Aditya pun dahulu merupakan mahasiswa yang sedang belajar di AS.
"Ya kalau terhadap mahasiswa, orang yang belajar, ya mestinya perlakuannya nggak boleh seperti itu. Mereka kan tentu bukan berpolitik, tentu tidak juga mau mencari kerja. Mereka kan belajar menimba ilmu," papar Utut saat ditemui awak media seusai menghadiri halal bihalal DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (14/4/2025) kemarin.
Utut turut mendesak Presiden Prabowo Subianto segera mengisi posisi Duta Besar RI yang masih kosong di beberapa negara, terutama posisi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat.
"Ini kita kembalikan kepada Pak Prabowo, tentu saudara Menlu (Menteri Luar Negeri). Tentunya ya pos-pos penting ini ya kalau bisa segera diisi," katanya.
Segera sebagaimana yang dimaksud oleh politisi PDIP tersebut yakni menurut aturan diplomatik yang berlaku. Utut pun berkata Komisi I DPR pasti segera menindaklanjuti surat dari Presiden terkait pengisian posisi Duta Besar ini apabila sudah ada, sebab Komisi I DPR merupakan mitra dari Kementerian Luar Negeri.
"Karena kalimat 'segera' ini, sesegeranya diplomatik itu juga ada aturan. Biasanya kita kirim nota, nama, mereka melakukan persetujuan atau agreement, agreement gitu. Baru di sini bisa jalan. Kalau Komisi I, setiap saat ketika surat dari Presiden hadir, tiba, surat dari Ketua DPR hadir, pasti segera kita jadwalkan," terang Utut.
Utut menambahkan, Komisi I DPR akan merencanakan rapat bersama Menteri Luar Negeri, Sugiono, pada hari Kamis (17/4/2025) mendatang. Sebab, pada hari ini, DPR masih dalam masa reses.
"Kita akan jadwalkan di hari Kamis. Kita upayakan kita ketemu semua mitra kita. Karena ini kan habis Lebaran, kita juga udah harus bersiap. Ada pagu indikatif kalau di anggaran, harus pagu indikatif kan, kemudian ada pagu sementara, dan itu baru pagu definitif atau alokasi kan sekarang. Nah yang jelas baru Lebaran, kalau secara geopolitik ada perubahan, pergeseran, perang tarif ini pasti ada dampaknya," tutur Utut.
"Kebenaran mitra kami, Kemlu, salah satunya mudah-mudahan nanti Pak Menlu Sugiono bisa menjelaskan sebaik-baiknya. Tetapi menjelaskan saja kan tidak cukup. Yang paling penting dari menjelaskan itu kan, bisa ke mitra di sana, pesan kita sampai, tapi tidak menyakiti," ujarnya.