Gerakan Rakyat Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto Menggema

Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas) menolak usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. (Foto: tangkapan layar petisi di change.org)
Fakta.com, Jakarta - Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas) menyerahkan surat terbuka kepada Kementerian Sosial (Kemensos) Jalan Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (10/4/2025). Surat itu berisi penolakan terhadap usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto.
Gemas terdiri dari keluarga korban pelanggaran berat HAM dan jaringan organisasi masyarakat sipil. Mereka menolak pemberian gelar Pahlawan Nasional tersebut karena Soeharto memiliki rekam jejak buruk dan berdarah selama 32 tahun menjabat sebagai presiden.
Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) saat ini tengah membahas nama-nama yang akan diusulkan untuk diberi gelar Pahlawan Nasional. Nama Soeharto termasuk salah satunya. Pengusulan ini dibatasi sampai 11 April 2025.
Setelah tahap verifikasi, sidang pleno TP2GP akan menyampaikan rekomendasi usulan calon Pahlawan Nasional dari Menteri Sosial kepada Presiden. Selanjutnya, Presiden memilih daftar nama yang diajukan untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Gerakan ini menilai Soeharto telah melakukan kekerasan terhadap warga sipil, pelanggaran HAM bahkan pelanggaran berat terhadap HAM, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dituangkan dalam TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 dan TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
“Pengusulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bermasalah serta merupakan upaya penghapusan sejarah dan pemutihan atas berbagai kejahatan yang dilakukan Soeharto," tulis keterangan rilis tersebut, dikutip Kamis (10/4/2025).
Dalam surat terbuka yang disampaikan kepada Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos Mira Riyati Kurniasih, Gemas mengutip Pasal 1 Nomor 4, Pasal 2, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (Undang-Undang GTK).
Menurut Gemas, Soeharto tak memenuhi tiga kriteria yang termaktub dalam Pasal 2 Undang-Undang GTK, yakni kriteria kemanusiaan, kerakyatan, dan keadilan, sebab sejarah panjang selama masa pemerintahan Soeharto pada Orde Baru justru diwarnai dengan aksi kekerasan terhadap warga sipil, penyalahgunaan wewenang, hingga KKN.
#Indonesia🇮🇩 Today, April 10, 2025, Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) submitted an open letter to the Ministry of Social Affairs to express its firm rejection of the proposal to grant Suharto the title of National Hero.
— KontraS #StopGenocide🍉 (@KontraSupdates) April 10, 2025
During his 32-year authoritarian rule,… pic.twitter.com/6mEoqkkYXv
Deret Pelanggaran HAM Berat Soeharto
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyelidiki dan menemukan bahwa terdapat 9 kasus pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di bawah pemerintahan Soeharto. Sembilan kasus tersebut adalah:
1. Peristiwa 1965-1966;
2. Peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985);
3. Peristiwa Tanjung Priok (1984);
4. Peristiwa Talangsari (1989);
5. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998);
6. Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998;
7. Peristiwa Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan Semanggi II (1999);
8. Peristiwa Mei 1998;
9. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999).
Pemerintahan presiden Soeharto juga telah melakukan berbagai pelanggaran HAM, di antaranya, kebijakan operasi militer dan militerisasi yang disertai dengan eksploitasi sumber daya alam di Papua (1968-1998), penetapan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (1974), pemberangusan organisasi kemasyarakatan melalui UU No. 5 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, perampasan tanah rakyat Kedung Ombo (1985-1989), penetapan Daerah Operasi Militer di Aceh (1989-1998), pembunuhan massal Santa Cruz (1991), pembunuhan aktivis buruh Marsinah (1993), penembakan warga dalam Pembangunan Waduk Nipah Madura (1993), penyerangan kantor DPP PDI (27 Juli 1996), perampasan tanah masyarakat adat Dongi di Sulawesi Selatan untuk pertambangan nikel, perampasan tanah rakyat untuk PT. Perkebunan Nusantara (PTPN), dan penggusuran rumah warga Bulukumba untuk PT. LONSUM, pembukaan lahan gambut satu juta hektar di Kalimantan yang mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan.
Pelanggaran lainnya yaitu, penyimpangan dana yayasan yang dipimpin oleh Soeharto yang telah ditemukan oleh Kejaksaan Agung pada September 1998 lalu, seperti penyelewengan dana Yayasan Trikora, Yayasan Supersemar, Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, serta tiga yayasan lain.
Ketujuh yayasan itu telah terindikasi menyimpan aliran dana milik negara berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333/KMK.011/1978.
Lebih lanjut, Gemas juga mengungkapkan meskipun Soeharto tidak pernah dipidana, bukan berarti membuktikan bahwa Soeharto tak bersalah. Proses hukum memang dihentikan pada 2006 karena kondisi kesehatan Soeharto yang terus memburuk.