AJI: Beberapa Pasal RUU KUHAP Ganggu Kebebasan Pers

Ketua AJI Indonesia, Nany Afrida, menilai beberapa pasal dalam RUU KUHAP berpotensi mengganggu kebebasan pers. (Fakta.com/Dewi Yugi Arti)
Fakta.com, Jakarta - Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nany Afrida, menilai beberapa pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP berpotensi mengganggu kebebasan pers.
Nany menyoroti salah satunya, yakni pasal yang mengatur liputan dalam persidangan di pengadilan yang seharusnya dilaksanakan secara terbuka menjadi tertutup karena butuh izin dari ketua pengadilan.
Dalam Pasal 253 ayat (3) draf RUU KUHAP yang berbunyi, "Setiap orang yang berada di sidang pengadilan dilarang mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan." Artinya, media pun tak bisa menyiarkan jalannya persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan.
“Kami melihat ada beberapa pasal di dalam KUHAP itu yang ternyata kita anggap mengganggu kebebasan pers. Misalnya sidang itu tertutup, atau harus streaming, harus ada izin dari ketua pengadilan. Kita merasa itu mengganggu kerja-kerja pers yang harusnya transparan, kita harus tahu apa yang terjadi di dalam," tutur Nany seusai pertemuan dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (8/4/2025).
Nany menambahkan, sidang di pengadilan seharusnya dibiarkan terbuka untuk umum, terutama untuk kasus-kasus yang melibatkan kepentingan umum, seperti korupsi dan pembunuhan berencana. Namun, untuk kasus-kasus seperti kekerasan seksual, Nany sepakat bahwa sidang harus dilaksanakan secara tertutup guna melindungi privasi penyintas.
"Kecuali kalau seandainya (sidang) pengadilan tentang kekerasan seksual itu mungkin tertutup dan kita kan punya etika soal itu. Aku rasa wartawan-wartawan pasti paham dan mereka pasti enggak akan meliput. Tapi yang berhubungan dengan kepentingan umum, ya pasti kita harus liput," ujar Nany.
Nany juga menanggapi pasal dalam RUU KUHAP yang mengatur sidang di pengadilan bisa dilaksanakan secara tertutup disebabkan ketakutan apabila para saksi saling mencontek atau mengubah keterangan setelah mendengarkan saksi sebelumnya. Menurutnya, hal itu tidak masuk akal.
"Itu tidak bisa menjadi alasan. Tapi kalau di luar pengadilan mereka bisa saling ketahuan dari pengacaranya. Gimana cara nutupinya? Enggak mungkin juga," tanggapnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, mengatakan terkait dengan aturan liputan di persidangan ini, Komisi III DPR akan mengadakan pertemuan pada tanggal 8 April 2025 dengan Forum Pemimpin Redaksi, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Dewan Pers untuk menindaklanjuti pembahasan RUU KUHAP.
"Kami paham teman-teman menjalankan tugas untuk memberitahukan kepada masyarakat. Tapi ada beberapa acara di pengadilan, dalam persidangan pidana, yang memang enggak bisa disiarkan," ujar Habiburokhman saat ditemui awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (27/3/2025).
Salah satu hal yang tak boleh disiarkan secara langsung dalam persidangan adalah pemeriksaan saksi, sebab saksi saling berkaitan dan tidak boleh saling mendengar kesaksian satu sama lain.
"Itu yang memang perlu disiasatinya. Apakah yang nggak bisa disiarkan secara live, itu hanya terkait pemeriksaan saksi. Jadi spesifik," tutur Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Habiburokhman juga mendorong agar persidangan di pengadilan diadakan siaran langsung secara terbuka seperti rapat-rapat di DPR, kecuali yang berkaitan dengan tindak pidana asusila.
Perlu Perubahan Radikal dalam KUHAP
Direktur YLBHI, Muhammad Isnur, menilai perlu perubahan yang cukup radikal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Bagaimana aparat bekerja, aparat berpraktik, aparat melakukan sikap menangkap, menyita, menahan, itu kan di situ, di KUHAP, di aturannya. Jadi kita perlu perubahan yang radikal di hukum acara pidana," papar Isnur pada kesempatan yang sama.
Menurutnya, KUHAP merupakan aturan yang lebih penting dibandingkan dengan KUHP. Oleh karena itu, dibutuhkan perubahan yang cukup radikal agar masyarakat tidak takut terancam kapan pun aparat penegak hukum melakukan salah tangkap.
"Kapan pun digebukin, kapan pun tiba-tiba disiksa di ruang tahanan, di ruang penyiksaan. Nah, kita mendorong agar seluas-luasnya bantuan hukum masuk," jelas Isnur.
Isnur menambahkan, dirinya sebagai perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pembaruan KUHAP menerima undangan diskusi informal dari Komisi III DPR, karena koalisi hendak meluruskan beberapa tahapan pembahasan RUU KUHAP yang dinilai keliru. Namun, Isnur mengaku koalisi pun belum terlalu banyak membahas substansi RUU KUHAP.
"Mengapa koalisi akhirnya menerima, mau datang ke sini? Karena ini forum informal, forum kami memprotes terkait proses yang selama ini menurut kami keliru. Jadi kami belum terlalu banyak membahas substansi ya, karena kami sedang mematangkan juga," tandasnya.