Deret Poin Krusial RUU Polri dan Janji Prabowo Bahas Transparan

Presiden Prabowo Subianto (tengah) bersama Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo (kanan) dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto (kiri), Kamis (30/12/2025). (YouTube Sekretariat Presiden)
Fakta.com, Jakarta - Revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) diwarnai pro dan kontra. Presiden Prabowo Subianto pun memastikan RUU Polri akan dibahas secara transparan dan melibatkan partisipasi publik.
“Nanti akan saya bicarakan dengan tokoh secara transparan, akan ada dengar pendapat dan naskah yang sah akan diungkap kepada masyarakat,” kata Prabowo dalam pertemuan dengan enam pemimpin redaksi media nasional di Hambalang, Bogor, Minggu (6/4/2025), seperti disiarkan di TVRI pada Senin (7/4/2025) malam.
Sebelumnya, Ketua DPR, Puan Maharani, menegaskan hingga saat ini pihaknya belum menerima Surat Presiden (Surpres) berkenaan dengan RUU Polri. Puan pun menyebut daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Polri yang beredar juga bukan yang resmi.
“Jadi kami pimpinan DPR belum menerima Surpres tersebut. Jadi kalau sudah ada DIM yang beredar itu bukan DIM resmi,” kata Puan dalam konferensi pers seusai menutup masa sidang DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (25/3/2025).
Wacana RUU Polri sempat dibahas oleh DPR periode 2019-2024. Pimpinan DPR bahkan sudah menerima surpres berisi persetujuan pembahasan tingkat pertama RUU Polri pada Juli 2024. Namun, pada Agustus 2024, Badan Legislasi (Baleg) DPR memutuskan menunda pembahasan RUU Polri karena pemerintah tak kunjung menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM).
Berikut ini beberapa pasal kontroversial dalam RUU Polri yang disorot oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yakni sebagai berikut:
Kewenangan Polri di Ruang Siber
KontraS menyoroti bahwa RUU Kepolisian memperluas kewenangan Polri untuk melakukan pengawasan terhadap Ruang Siber. Hal ini tercantum dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) huruf b, dan Pasal 16 ayat (1) huruf q RUU Polri.
Pasal 6 ayat (1) RUU Polri berbunyi, “Polri dalam melaksanakan fungsi dan peran Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 5 meliputi teritorial: a. wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. wilayah perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang memiliki kekebalan diplomatik; d. kapal laut berbendera Indonesia di wilayah laut internasional; e. pesawat udara teregistrasi dan berbendera Indonesia; dan f. Ruang Siber.”
Sedangkan, Pasal 14 ayat (1) huruf b RUU Polri berbunyi, “Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Polri bertugas: ….; b. melakukan kegiatan dalam rangka pembinaan, pengawasan, dan pengamanan Ruang Siber; ….”
Kemudian, Pasal 16 ayat (1) huruf q RUU Polri berbunyi, “Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 di bidang proses pidana, Polri berwenang untuk: ….; q. melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses Ruang Siber untuk tujuan Keamanan Dalam Negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika penyelenggara jasa telekomunikasi; ….”
Menurut KontraS, perkembangan teknologi memang memunculkan berbagai resiko tindak pidana dan bentuk ancaman keamanan lainnya marak terjadi pada Ruang Siber dan Kepolisian sebagai institusi penegak hukum harus peka terhadap resiko-resiko tersebut.
Namun, kewenangan tersebut juga sangat rentan disalahgunakan, mengingat penggunaan alat sadap, intersepsi komunikasi dan intersepsi digital yang pengaturannya masih lemah sehingga rentan terjadi kesewenang-wenangan dalam implementasinya dan dapat digunakan untuk menyerang kelompok masyarakat yang kritis terhadap pemerintah.
“Kewenangan untuk ‘membina’ dan ‘mengawasi’ ruang siber juga berpotensi menimbulkan pertentangan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi yang secara tegas memberikan perlindungan pada segala bentuk data pribadi warga negara,” ujar Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, dalam keterangan rilisnya.
Selain itu, Dimas pun berpendapat bahwa pemblokiran, pemutusan dan perlambatan akses juga dapat bertentangan dengan hak warga negara untuk memperoleh dan mengakses informasi secara bebas.
Perluasan untuk membina dan mengawasi ruang siber jika dilakukan secara sewenang-wenang juga dapat melanggar hak atas privasi warga negara sebagaimana dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR).
“Pada sisi lain, mengingat maraknya kasus kebocoran data pribadi dan kerangka Ruang Siber Indonesia yang cukup rentan terhadap serangan, kewenangan atas Ruang Siber tersebut juga perlu ditinjau dengan matang dan implementasinya dilakukan dengan pengawasan yang baik untuk menghindari kesewenang-wenangan dan pelanggaran privasi warga negara,” ucap Dimas.
Perluasan Kewenangan Intelkam Polri
KontraS juga mengkritisi pasal mengenai perluasan kewenangan bidang Intelijen dan Keamanan (Intelkam) Polri, yang menurut KontraS tumpang tindih kewenangan dengan Badan Intelijen Negara (BIN).
Selain itu, wewenang Polri untuk melakukan penyadapan rentan menjadi sumber terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Padahal, perihal penyadapan dan penggalangan intelijen ini tidak diatur pada Undang-Undang Polri sebelumnya.
Perluasan kewenangan bidang Intelkam Polri ini tercantum dalam Pasal 1 angka 17, Pasal 14 ayat (1), Pasal 16A, dan Pasal 16B RUU Polri.
Pasal 1 angka 17 RUU Polri berbunyi, “Intelijen Keamanan Polri yang selanjutnya disebut Intelkam Polri adalah intelijen yang diimplementasikan dalam penyelenggaraan fungsi Kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara dalam rangka mewujudkan Keamanan Dalam Negeri.”
Kemudian, Pasal 14 ayat (1) huruf i RUU Polri berbunyi, “(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Polri bertugas: …; i. melaksanakan kegiatan Intelkam Polri; ….”
Selanjutnya, Pasal 16A RUU Polri berbunyi, “Dalam rangka menyelenggarakan tugas Intelkam Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i, Polri berwenang untuk: a. menyusun rencana dan kebijakan di bidang Intelkam Polri sebagai bagian dari rencana kebijakan nasional; b. melakukan penyelidikan, penggalangan intelijen; pengamanan, dan c. mengumpulkan informasi dan bahan keterangan; dan d. melakukan deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman termasuk keberadaan dan kegiatan orang asing guna mengamankan kepentingan nasional menjunjung tinggi hak asasi manusia.”
Terakhir, Pasal 16B RUU Polri berbunyi, “Kegiatan pengumpulan informasi dan bahan keterangan dalam rangka tugas Intelkam Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16A huruf c meliputi: a. permintaan bahan keterangan kepada kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau lembaga lainnya; dan b. pemeriksaan aliran dana dan penggalian informasi. (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap sasaran sumber ancaman baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri termasuk ancaman dari orang yang sedang menjalani proses hukum, yang terkait dengan: a. ancaman terhadap kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; dan/atau b. terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional. (3) Dalam melaksanakan kegiatan pengumpulan informasi dan bahan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Intelkam Polri berkoordinasi dengan lembaga yang menyelenggarakan fungsi koordinasi intelijen negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Tak Ada Pasal Memperkuat Posisi Kompolnas
RUU Polri pun dinilai tidak memperkuat dan menegaskan posisi serta kewenangan lembaga pengawas terhadap Polri seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Menurut KontraS, selama ini Kompolnas tampak tidak menunjukkan performa yang baik sebagai lembaga pengawas bahkan cenderung menunjukkan disfungsi dalam melakukan kerja-kerjanya.
“Mengingat RUU Kepolisian ingin menambah dan memperluas kewenangan Kepolisian, maka sudah seharusnya perluasan kewenangan tersebut juga disertai dengan penguatan oversight mechanism. Pada dasarnya kewenangan yang luas juga perlu diiringi dengan pengawasan yang ketat untuk meminimalisasi angka penyelewengan,” tutur Dimas.

Komisioner Kompolnas Choirul Anam. (Fakta.com/Hendri Agung)
Adapun, pasal yang mengatur tentang Kompolnas dalam RUU Polri, yakni Pasal 37 dan Pasal 39. Dalam kedua pasal tersebut, tak ada perluasan kewenangan terhadap lembaga Kompolnas, hanya berisi aturan normatif saja.
Pengaturan Pam Swakarsa
RUU Polri masih mengatur perihal Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa. Menurut KontraS, tetap diaturnya Pam Swakarsa dalam RUU Polri sesungguhnya minim urgensi dan justru memunculkan potensi timbulnya pelanggaran HAM.
Pam Swarkasa sendiri diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g RUU Polri yang berbunyi, “Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Polri bertugas: …; g. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, penyidik lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan bentuk pengamanan swakarsa; …”
Pam Swakarsa sendiri merupakan badan keamanan yang terdiri dari satpam, siskamling, pecalang, dan sejenisnya untuk membantu mengamankan lingkungan.
Namun, pada tahun 1998, sebutan Pam Swakarsa diperuntukkan bagi kelompok sipil bersenjata tajam yang dibentuk oleh TNI untuk membendung aksi mahasiswa sekaligus mendukung Sidang Istimewa MPR tahun 1998, yang berakhir dengan Tragedi Semanggi
Selama Sidang Istimewa MPR, Pam Swakarsa berkali-kali terlibat bentrokan dengan para pengunjuk rasa yang menentang Sidang Istimewa, juga terlibat bentrokan dengan masyarakat yang merasa resah dengan kehadiran Pam Swakarsa.
Pengaturan Batas Usia Pensiun
Terakhir, KontraS juga menyoroti dinaikkannya batas usia pensiun menjadi 60-62 tahun bagi anggota Polri dan 65 tahun bagi pejabat fungsional Polri juga belum memiliki urgensi yang jelas.
Dinaikkannya usia pensiun ini dinilai tidak menyelesaikan masalah penumpukan jumlah perwira tinggi dan menengah dalam internal Polri.
KontraS berpendapat, untuk mengatasi masalah internal tersebut seharusnya perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap proses rekrutmen dan kaderisasi dalam internal Kepolisian, bukannya malah menaikkan usia pensiun anggota kepolisian.
Adapun, pengaturan batas usia pensiun ini tercantum dalam Pasal 30 RUU Polri, yang berbunyi sebagai berikut:
“(1) Anggota Polri dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat.
(2) Batas usia pensiun Anggota Polri yaitu: a. 60 (enam puluh) tahun bagi Anggota Polri; dan b. 65 (enam puluh lima) tahun bagi pejabat fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan bagi jabatan tersebut.
(3) Usia pensiun bagi Anggota Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas Kepolisian dapat diperpanjang sampai dengan 62 (enam puluh dua) tahun.
(4) Perpanjangan usia pensiun bagi perwira tinggi bintang 4 (empat) ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(5) Ketentuan mengenai pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan perpanjangan usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.”