Lain Dulu Lain Sekarang di RUU TNI, Ada Apa dengan PDIP?

Ilustrasi. PDIP berubah sikap dalam hal RUU TNI. (FOTO ANTARA/Nyoman Budhiana/pd/09)
FAKTA.COM, Jakarta - Persetujuan PDI-Perjuangan terhadap Revisi Undang-Undang (RUU) TNI diduga terkait dengan perpecahan faksi di internal hingga upaya tarik ulur kepentingan 'Banteng' dengan Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
RUU TNI itu disahkan DPR lewat dua ketukan palu Ketua DPR Puan Maharani, yang juga menjabat Ketua DPP PDIP, di Rapat Paripurna DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/3/2025).
Ia juga mengklaim ibunya, Megawati, yang juga Ketua Umum PDIP, mendukung penuh pengesahan Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI).
"[Megawati] mendukung, karena memang sesuai dengan apa yang diharapkan," klaim Puan, dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (20/3/2025).
Saat ditanya soal sikap politik PDIP setelah pengesahan RUU TNI ini, Puan berkilah bahwa "Kami di sini di DPR bersama-sama bergotong royong akan bersama-sama dengan pemerintah demi bangsa dan negara."
Pernah menolak
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sempat menolak RUU TNI pada tahun lalu sambil menyoroti pasal tentang perubahan usia pensiun prajurit aktif TNI.
"Publik ini mau dikemanakan. Undang-undang, nah kalau saya ngomong gini, 'Oh, Ibu Mega enggak setuju'. Ya enggak setuju lah. Yang RUU TNI, Polri itu," ujar dia, dalam pidatonya pada Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Partai Perindo di iNews Tower, Jakarta Pusat, Selasa (30/7/2024), sebagaimana dikutip dari kanal Youtube PDIP.
"Lho kok enggak dilihat sumbernya. Itu TAP MPR lho. Yang namanya ketika jadi satu (TNI dan Polri, Red), saya yang memisahkan, Presiden lho," tutur Megawati bangga.

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pernah menolak RUU TNI terkait kesetaraan TNI dan Polri. (tangkapan layar YouTube PDIP)
Yang dia maksud adalah TAP MPR Nomor VI/MPR/2020 yang telah mencabut dwifungsi ABRI melalui pemisahan TNI dan Polri.
"Memisahkan karena TAP MPR harus dijalankan, yaitu pemisahan antara TNI dengan Polri. Lho kok sekarang disetarakan, saya enggak ngerti maksudnya," cetus Presiden kelima RI itu.
Namun, sikap partai itu berubah dengan ditunjukkan pada penempatan kader-kader mereka di Panitia Kerja (Panja) RUU TNI. Utut Adianto, yang adalah Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Internal PDIP, menjadi Ketua Panja RUU TNI.
Selain itu, empat kader PDIP lain, yakni Tubagus (TB) Hasanuddin, Junico B. P. Siahaan, Rudianto Tjen, dan Rachmat Hidayat, masuk Panja.
Menanggapi perubahan sikap ini, Puan mengatakan karena pada saat Megawati menolak itu PDIP belum membahas RUU TNI bersama pemerintah.
"Ya itu kan sebelum kita bahas bersama dan hasilnya seperti apa," ujar dia, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (17/3/2025).
"Kehadiran PDI justru untuk meluruskan, jika kemudian ada hal-hal yang kemudian tidak sesuai dengan apa yang kemudian kami anggap itu tidak sesuai," dalih Puan.
Pengesahan RUU TNI
Ketua DPR Puan Maharani mengesahkan RUU TNI di Rapat Paripurna DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/3/2025). (YouTube DPR)
Perpecahan faksi
Pengamat politik dari Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menduga ada perpecahan faksi di internal PDIP. Hal ini sudah ditunjukkan Puan sejak Pilpres 2024 lalu yang kerap berseberangan dengan elite PDIP lainnya.
"Sejak Pilpres, Puan Maharani terkesan sudah berseberang dengan elite PDIP lainnya. Ketika gelombang kritik pada Jokowi dari sebagian kader PDIP, sebaliknya Puan menjadi pembela Jokowi termasuk Prabowo," tutur dia, melalui pesan tertulis kepada FAKTA, Selasa (25/3/2025).
Saat ini, posisi Puan sebagai Ketua DPR tentu punya kekuasaan lebih dibandingkan dengan kader PDIP yang lain. Hal ini membuat Puan leluasa berada di jalur berbeda dengan sebagian kader PDIP, termasuk dengan Megawati.
"Dilematisnya, Megawati tentu tidak bisa berbuat banyak atas keputusan Puan. Satu sisi Puan punya kuasa, sisi lain ia putri Megawati sendiri," ucap Dedi.
Pengamat politik Populi Center Usep Saepul Ahyar mengamini adanya kemungkinan perpecahan di internal PDIP, yakni antara Fraksi PDIP di DPR dan DPP PDIP.
Namun, Usep mengatakan hal ini terjadi karena PDIP saat ini berpatokan pada pragmatisme politik, bukan hal-hal yang substansial.
"Iya betul itu (ada perpecahan internal PDIP, Red)," papar Usep dalam wawancara telepon bersama FAKTA, Selasa (25/3/2025).
"Ini memang partai yang menurut saya ideologinya pragmatis, tidak ada ideologi, dan pragmatisme politik lebih mengemuka dibanding subtansial," lanjutnya.
Strategi tarik ulur
Usep menyebut sikap PDIP--partai yang kerap mengklaim jargong partainya 'wong cilik'--terhadap Undang-Undang TNI ini sebagai anomali.
"Iya itu anomali dari sikap PDIP. Menurut saya, menjalankan tarik ulur dalam berpolitik," ucap dia.
"Jadi memang menolak dan menerima itu lebih banyak pada persoalan politik saja, bukan persoalan yang substansial. Lebih politik untuk memperjuangkan kepentingannya dalam kerangka tarik ulur dengan pemerintah," ujarnya.
Usep mengatakan PDIP saat ini sedang melakukan tarik ulur dengan pemerintahan Prabowo.

Kasus suap yang menjerat Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto diduga jadi salah satu kepentingan yang dipertimbangkan dalam sikap partai. (Fakta.com/Dhia Oktoriza)
"Kalau hanya dilihat sepintas, berlawanan antara satu, tidak jauh lama dari menolak, lalu kemudian menerima. Itu kan membingungkan kalau tidak dilihat dari sisi politik," ujarnya.
"Ini permainan politik tarik ulur dengan pemerintah. Ketika punya konsesi politik, lalu kemudian mendukung. Saya berusaha memahami sikap PDIP itu justru pertimbangan-pertimbangan politik praktis yang lebih dominan," terang Usep.
Usep pun tak menampik kemungkinan kepentingan PDIP ialah untuk membebaskan Sekretaris Jenderalnya, Hasto Kristiyanto, yang kini menjadi tersangka kasus suap berkaitan dengan Harun Masiku.
"Kemungkinan itu sangat terbuka dan saya kira kepentingan politik PDIP terhadap Prabowo dan begitu juga sebaliknya sangat banyak," kata Usep.