Efek Pensiun Jenderal Makin Lama: Karier Prajurit Terhambat, Boros Anggaran

Ilustrasi. Karier prajurit diprediksi susah naik lantaran masa pensiun jenderal-jenderal makin lama. (Tangkapan layar YouTube TNI AD)
FAKTA.COM, Jakarta - Salah satu perubahan dalam Revisi UU TNI, yakni Pasal 53 yang mengatur peningkatan batas usia pensiun prajurit, dinilai memicu pemborosan anggaran dan menghambat karier.
Ketua DPR mengetok palu pengesahan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) usai mendapat persetujuan semua fraksi dan anggota dalam Rapat Paripurna hari ini, Kamis (20/3/2025).
Aturan usia pensiun prajurit pada Pasal 53 UU TNI Tahun 2004 menyebut perwira pensiun pada usia 58 tahun, sedangkan bintara dan tamtama pada usia 53 tahun.
Pada RUU TNI ini, batas usia pensiun berbeda-beda tergantung jenjang kepangkatan, dengan tambahan ketentuan khusus bagi perwira tinggi dan mereka yang menduduki jabatan fungsional.
Untuk bintara dan tamtama, usia pensiun naik menjadi 55 tahun. Perwira berpangkat kolonel tetap pensiun pada usia 58 tahun.
Sementara, perwira tinggi bintang satu akan pensiun pada usia 60 tahun, bintang dua pada usia 61 tahun, bintang tiga pada usia 62 tahun, dan perwira tinggi bintang empat pada usia 63 tahun.
Ketua DPR Puan Maharani mengesahkan RUU TNI
Ketua DPR Puan Maharani mengesahkan RUU TNI di Rapat Paripurna DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/3/2025). (YouTube DPR)
Perubahan terbesar terletak pada ketentuan mengenai perwira tinggi bintang empat (jenderal, laksamana, marsekal). Dalam revisi ini, mereka dapat diperpanjang masa pensiunnya hingga dua kali dengan keputusan presiden, masing-masing perpanjangan selama satu tahun.
Artinya, seorang jenderal bintang empat bisa bertugas hingga usia 65 tahun jika mendapatkan perpanjangan penuh.
Selain itu, ada ketentuan baru yang memungkinkan perwira yang sudah pensiun untuk direkrut kembali sebagai perwira komponen cadangan dalam rangka mobilisasi nasional, dengan aturan lebih lanjut yang akan ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah.
Peringatan dari Masyarakat Sipil
Perpanjangan usia pensiun prajurit ini dinilai dapat menimbulkan dua akibat serius. Pertama, problem bottleneck alias terhambatnya kenaikan pangkat atau karier prajurit dan regenerasi.
"Jika usia pensiun diperpanjang, maka kesempatan bagi prajurit muda untuk naik pangkat akan semakin sempit, yang pada akhirnya bisa menghambat regenerasi di tubuh TNI,” ujar Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra, dalam keterangannya kepada FAKTA, Rabu (19/3/2025).
Senada, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyatakan penambahan masa pensiun prajurit TNI berisiko mengganjal regenerasi kepemimpinan di tubuh TNI.
“Usulan perubahan Pasal 53 yang menaikan batas usia pensiun prajurit aktif beresiko menyebabkan stagnansi regenerasi kepemimpinan," kata Anis Hidayah, Koordinator Sub Komisi Pemajuan Komnas HAM dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta pada Rabu (19/3).
“Pengaturan Pasal 53 ayat 2 dan ayat 4 usulan perubahan ini akan menjadikan pengelolaan jabatan di lingkungan organisasi TNI menjadi politis dan memperlambat regenerasi di tubuh TNI."
Kedua, lanjut Anis, pemborosan atau inefisiensi anggaran karena pembiayaan masa dinas yang makin lama.
Ketiga, "penumpukan personel tanpa kejelasan penempatan tugas.”
Keempat, memperkuat pengaruh militer di ranah sipil. Efeknya, ruang buat kebebasan berpendapat dan kritik makin sempit.
“Dampaknya adalah pengaruh militer akan semakin menguat dalam kehidupan sipil, dan tentunya ruang kritik atau kebebasan sipil dalam lingkungan yang militeristik tersebut akan semakin sempit. Pada titik ini, hak asasi manusia di Indonesia bisa terancam,” tandas Anis.