Darurat RUU TNI, Upaya Mengimbangi Dominasi Polri

Suasana Rapat Kerja Komisi I DPR RI bersama Menteri Pertahanan, Panglima TNI, dan tiga Kepala Staf TNI, di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/2/2025). (ANTARA/Rio Feisal)
Fakta.com, Jakarta - Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang kini tengah dibahas memantik polemik. Selain poin kontroversial terkait ancaman bangkitnya dwifungsi TNI, pakar hukum menilai ada upaya untuk mengimbangi dominasi Polri di lembaga sipil.
Pemerintah berdalih, revisi ini bertujuan menampung "oversupply" ribuan perwira yang tak terserap di struktur komando, kemudian dialihkan untuk menduduki jabatan sipil di kementerian dan lembaga non-militer.
Namun, para ahli hukum tata negara dalam diskusi bertajuk “Darurat RUU TNI” yang digelar di platform media sosial X pada Senin malam (17/3/2025) menilai langkah ini justru berpotensi mencederai reformasi TNI dan memicu kekacauan tata negara.
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, mengkritik tajam wacana yang membenarkan masuknya TNI ke ranah sipil dengan alasan oversupply perwira. Ia menilai, langkah tersebut justru berpotensi merusak karakter pemerintahan demokratis yang saat ini dianut Indonesia.
"Kalau memang ada oversupply, katakanlah dari level menengah ke atas, itu kelebihan jadinya gemuk organisasinya. Kita bisa membuat kebijakan, misalnya mengubah jenjang karier atau menghitung ulang apakah rekrutmennya perlu sebanyak sekarang, dengan mempertimbangkan kondisi pertahanan dan bacaan geopolitik yang sudah berbeda," ujar Bivitri.
Ia menegaskan bahwa kelebihan personel di tubuh TNI semestinya diselesaikan dengan kebijakan internal organisasi, bukan justru dengan mendorong mereka ke jabatan sipil.
"Kalau kebanyakan, bukan berarti kita lepas ke wilayah sipil. Itu kan sesat berpikir. Di wilayah sipil, kita juga punya ASN yang meniti karier dari bawah. Ketika mereka sudah bertahun-tahun bekerja, lalu tiba-tiba ada tentara yang masuk menduduki jabatan strategis, itu jelas merugikan ASN yang sudah berproses lama dan kompetensinya berbeda," katanya.
Prinsip Pemerintahan Demokratis
Bivitri juga menyoroti perbedaan fundamental antara militer dan tata kelola pemerintahan yang demokratis.
"Democratic governance itu berkebalikan dengan paradigma militer. Militer yang profesional itu loyal, patuh pada komandan, dan menjaga rahasia. Sementara di ranah sipil, kebijakan harus dibuat secara bottom-up, partisipatif, dan transparan. Anak buah boleh protes, warga diajak berpartisipasi, dan semuanya terbuka. Kalau karakter militer dipaksakan ke ranah sipil, yang terjadi adalah kekacauan dalam demokrasi," jelasnya.
Lebih lanjut, Bivitri menyoroti proses pembahasan RUU TNI yang dinilainya tidak transparan.
"Yang terjadi selama pembahasan RUU TNI ini, kita nyari draf, enggak ada. Begitu dapat draf dari hasil kasak-kusuk, tiba-tiba dibilang itu draf lama. Ya kalau begitu, berikan kepada kami draf yang benar. Dalam negara demokrasi, enggak boleh ada pembahasan hukum yang andalannya hubungan personal. Harus terbuka," katanya.
Bivitri juga memperingatkan bahwa isu ini bukan sekadar soal perebutan jabatan, melainkan berpotensi membuka jalan bagi kembalinya konsep dwifungsi TNI seperti di masa Orde Baru.
"Kita ini enggak memperdebatkan 10 atau 15 jabatan. Kita memperdebatkan peluang adanya lagi dwifungsi tentara. Ini bukan sekadar rebutan jabatan, tapi ada sumber daya yang juga ingin dikuasai. Sejarah mencatat, kekuatan militer pernah menjadi aktor dominan dalam politik dan ekonomi Indonesia, terutama pasca-kemerdekaan. Kita harus punya analisis politik ekonomi yang tajam untuk melihatnya," kata Bivitri.
Mengimbangi Dominasi Polri
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menyampaikan analisisnya terkait wacana pengembalian TNI ke ranah sipil di bawah pemerintahan Prabowo Subianto.
Ia menilai langkah ini merupakan upaya mengimbangi dominasi Polri yang semakin luas di berbagai jabatan strategis sejak era Presiden Joko Widodo.
"Saya kira karena polisi sudah makin terlalu kuat di level dwifungsinya. Nah, kita semua tahu bahwa polisi masuk di mana-mana. Dan itu yang mengakibatkan kenapa mau dibalikkan yang namanya dwifungsi dari tentara ini," ujar Zainal.
Menurutnya, kebijakan tersebut justru berpotensi menciptakan masalah baru. Ia menilai masyarakat sipil yang akan menjadi korban, karena harus berhadapan dengan dua institusi bersenjata yang sama-sama memiliki kewenangan besar di ranah publik.
"Itu menurut saya kayak melakukan tindakan yang mengundang penyakit baru. Karena tidak menjawab persoalan. Akhirnya kemudian masyarakat sipil harus berhadapan dengan dua kelembagaan yang merasa dua-duanya bersenjata," tegasnya.
Zainal juga menguraikan sejarah panjang keterlibatan militer di ranah sipil sejak masa kemerdekaan. Ia menyinggung praktik dwifungsi ABRI yang mulai menguat saat Soeharto berkuasa.
Ia menjelaskan, dwifungsi ini berawal dari asumsi bahwa tentara, karena latar belakang pelatihan dan kedisiplinannya, dianggap mampu mengisi posisi manajerial di berbagai sektor, terutama setelah nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.
"Nah ketika diserahkan kepada tentara itu, itulah pertama kali lahirnya kemudian praktik dalam tanda kutip dwifungsi yang akhirnya kemudian diformalkan oleh paradigmanya Nasution," katanya, merujuk pada pemikiran Jenderal A.H. Nasution dalam "Pokok-Pokok Perang Gerilya".
Namun, reformasi 1998 dan pengesahan UU TNI pada 2004 sejatinya telah mengembalikan tentara ke barak dan menegaskan pemisahan peran TNI dan Polri.
Zainal menyoroti ironi pascareformasi, di mana Polri justru mengambil alih peran sosial-politik yang sebelumnya dipegang ABRI, sebagaimana dijelaskan dalam disertasi "The Rise of Polri" oleh Jack Quinn Baker dari London School of Economics.
"Harusnya yang dilakukan adalah melakukan reformasi kepolisian. Polri yang dipaksa turun supaya dwifungsinya tidak terlalu nyata, tidak terlalu kuat. Tapi yang dilakukan kelihatannya adalah untuk mengimbangi dwifungsinya Polri, dinaikkan dwifungsi tentara," ujarnya.
Lebih lanjut, Zainal mengkritik minimnya partisipasi publik dalam pembahasan RUU TNI ini. Ia menyoroti pernyataan Dasco yang menyebut rancangan hanya berisi tiga pasal, namun tanpa menunjukkan draf resmi.
"Pertanyaannya kan di mana drafnya? Kalau memang cuma tiga, mana draf yang benar? Karena itu kan merusak yang namanya partisipasi publik," katanya.
Zainal mengingatkan, mengembalikan TNI ke ranah sipil dengan dalih memperkuat peran negara justru berisiko menimbulkan gesekan sosial.
Menurutnya, konsep pertahanan rakyat semesta yang diandalkan selama ini justru akan berbalik menjadi bumerang jika militer kembali aktif dalam urusan sipil.
"Dengan masuknya TNI ke urusan keduniawian sehari-hari, justru akan menabung gesekan sosial. Dan ketika dibutuhkan, justru ada clash antara rakyat dengan TNI," tutupnya.
Kekacauan Tata Negara
Feri Amsari, ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas menyatakan bahwa proses pembahasan RUU TNI yang terkesan tergesa-gesa dan tidak transparan adalah upaya pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto, untuk melegitimasi pelanggaran hukum yang selama ini terjadi.
"Sebenarnya diskusi soal kekhawatiran apakah dwifungsi akan kembali atau tidak, sudah harus ditutup, karena dwifungsi TNI sudah hadir. Sudah berjalan dengan ditunjuknya Setkab (Sekretaris Kabinet) yang merupakan prajurit aktif dan sempat Kepala Bulog adalah juga prajurit aktif. Semua hal sudah berupa pernyataan bahwa dwifungsi sudah berjalan," ujar Feri.
Feri menyoroti kasus Letkol Teddy yang menjabat sebagai Sekretaris Kabinet dan ditempatkan di bawah Sekretaris Militer Presiden sebagai contoh nyata dari kekacauan tata negara. Ia menjelaskan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 47 UU TNI, yang secara tegas membatasi jabatan sipil yang boleh diisi oleh prajurit aktif hanya yang berkaitan dengan pertahanan.
"Kasus Letkol Teddy itu memperjelas bahwa ada upaya menghalalkan sesuatu yang haram dalam konsep pertahanan kita, di mana prajurit tidak boleh mengisi jabatan sipil. Gara-gara memaksakan agar itu sesuai dengan ketentuan undang-undang, Teddy maka terjadilah kesemrawutan ketatanegaraan karena Setkab adalah koordinator kabinet. Ketika Setkab di bawah Sekretaris Militer Presiden, dengan sendirinya timbul pandangan bahwa seluruh jajaran kabinet juga berada di bawah Sekretaris Militer Presiden. Nah, itu kan merusak ketatanegaraan," paparnya.
Feri juga mempertanyakan argumen pemerintah yang mencoba membenarkan keterlibatan militer di jabatan sipil dengan konsep 'pertahanan pangan', yang menurutnya tidak relevan.
"Saya memang juga tidak habis pikir ya, tiba-tiba ada gagasan konsep pertahanan pangan ya sehingga itu seolah-olah berkaitan dengan militer dan boleh kemudian dicampuri oleh militer, padahal itu soal pangan," kritiknya.
Menurut Feri, Pasal 30 UUD 1945 sejatinya justru menegaskan bahwa sipil lah yang berhak masuk ke ranah militer dalam situasi darurat, bukan sebaliknya. Ia menegaskan bahwa tidak ada satu pun pasal atau ayat yang membenarkan militer memasuki ruang sipil.
"Tidak satu pasal pun, tidak satu ayat pun, tidak satu kata pun yang menjelaskan bahwa militer boleh masuk ke ruang sipil," tutup Feri.
— Dirty Vote (@DirtyVote) March 17, 2025
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyatakan penerapan dwifungsi TNI melalui revisi UU TNI sebagaimana dikhawatirkan kelompok masyarakat sipil, tidak akan terjadi.
“Yang berkembang tentang ada dwifungsi TNI dan lain-lain, saya rasa kalau sudah lihat pasal-pasal itu sudah jelas bahwa kami juga di DPR akan menjaga supremasi sipil dan lain-lain, dan tentunya rekan-rekan dapat membaca nanti," kata politikus Partai Gerindra itu.