Sejarah Dwifungsi ABRI, Kekuatan Politik yang Dipersenjatai

Masyarakat sipil menentang upaya pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU TNI. (Foto: Ilustrasi)
Fakta.com, Jakarta - Kekhawatiran bangkitnya Dwifungsi ABRI (sekarang TNI) makin menguat di tengah pembahasan revisi UU TNI yang dilakukan secara tertutup belakangan ini. Ramai-ramai masyarakat sipil menentang upaya pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU TNI.
Doktrin Dwifungsi ABRI bukan sekadar strategi pertahanan, melainkan gagasan besar yang membentuk wajah politik Indonesia selama lebih dari setengah abad.
Dimulai dari konsep ‘Jalan Tengah’ Jenderal A.H. Nasution pada 1957, peran ganda TNI sebagai kekuatan pertahanan sekaligus sosial-politik berkembang pesat di masa Demokrasi Terpimpin dan mencapai puncak dominasi pada era Orde Baru.
Bagaimana transformasi ini terjadi, dan apa dampaknya terhadap militer serta masyarakat sipil?
Datang Saat Perang
Dalam buku Sejarah TNI Jilid I (1945-1949) yang disusun oleh Pusat Sejarah dan Tradisi TNI (2000) disebutkan bahwa pada masa Revolusi Kemerdekaan, TNI berperan besar dalam membentuk karakter prajurit sebagai pejuang-prajurit dan prajurit-pejuang.
Semangat perjuangan melawan penjajah menjadikan TNI kekuatan nyata di panggung politik nasional.
Saat Agresi Militer II (Desember, 1948- Januari, 1949) Belanda berlangsung, RI menerapkan pemerintah militer yang secara taktis memimpin pemerintahan sipil dan berfungsi sebagai alat negara di bawah perlindungan militer.
Pemerintah militer bertanggung jawab atas keberlangsungan pemerintahan dan pertahanan negara. Selain mengerahkan kekuatan sipil untuk mendukung pertahanan, pemerintah militer juga menjalankan peran di bidang kesejahteraan rakyat, meliputi ekonomi, pendidikan, dan kesehatan (Pusjarah TNI, I, 2000: 274).
Panglima Besar Sudirman, seperti disebutkan dalam buku Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI yang disunting oleh Nugroho Notosusanto dan rekan, dalam melanjutkan perlawanan dengan semboyan "Met of Zonder Pemerintah", menandakan TNI berjuang baik dengan atau tanpa pemerintahan sipil.
Instruksi Markas Besar Komando Djawa (MBKD)1948 dari Kolonel A.H. Nasution menegaskan pembentukan pemerintah militer demi menyelamatkan Republik Indonesia.
Dalam instruksi tersebut terdapat ‘eselonisasi’ pemerintahan militer, di antaranya; Panglima Besar Angkatan Perang sebagai pimpinan tertinggi; Panglima Teritorial dan Teritorial Jawa untuk pimpinan Jawa dan Madura; Gubernur Militer (GM) untuk Provinsi; Komando Militer Daerah (KMD) untuk Karesidenan; Komandan Distrik Militer (Kodim) untuk Kabupaten dan Komandan Order Distrik Militer (KODM) untuk Kecamatan (Nugroho Notosusanto, 1984: 55).
Lahirnya Konsep Dwifungsi
Harodl Crouch dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia (2007) menjelaskan bahwa Konsep Dwifungsi berawal dari gagasan Jenderal A.H. Nasution pada 1957 dengan istilah “Jalan Tengah.”
Nasution merancang peran ganda bagi TNI agar militer tidak hanya berfungsi sebagai alat pertahanan, tetapi juga turut serta dalam pembangunan bangsa. Salah satu implementasinya terlihat dari keterlibatan perwira militer dalam Dewan Nasional yang dibentuk oleh Presiden Sukarno (Crouch, 2007: 24).
Menurut Crouch, meski Nasution menegaskan TNI tidak bertujuan mengambil alih pemerintahan, keterlibatan mereka di bidang non-militer semakin meluas.
Pada seminar Angkatan Darat pada April, 1965, lahirlah doktrin resmi yang menyatakan TNI sebagai kekuatan Hankam dan kekuatan sosial. Ini memberikan legitimasi ideologis bagi tentara untuk masuk ke berbagai aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, politik, hingga budaya dan agama (Crouch, 2007: 81).
Dalam kabinet yang dibentuk setelah kembali ke UUD 1945, hampir sepertiga menteri Sukarno diangkat dari perwira militer. Tentara juga terwakili dalam Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dalam Fraksi Golongan Karya (Crouch, 2007: 49).
Sementara para Kepala Staf Ketiga Angkatan Perang dan Kepala Kepolisian Negara duduk dalam kabinet sebagai ex officio (Sundhausen, 1986: 256).
Pada periode ini, berlangsung proses nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing, terutama milik Belanda. Lebih dari 700 perusahaan diambil alih oleh pemerintah. Untuk mengawasi pengelolaannya, pejabat militer ditunjuk sebagai pengawas perusahaan tersebut (Pusjarah TNI II, 2000:182).
Menghancurkan PKI, Meraih Dominasi
Ahmad Yani Basuki dalam Reformasi TNI: Pola Profesionalitas dan Refungsionalisasi Militer dalam Masyarakat (2013) menyebut bahwa pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), selain TNI, PKI juga berkembang pesat sebagai kekuatan politik yang menonjol karena propaganda yang gencar tentang prinsip gotong royong dan kekeluargaan dalam politik.
PKI berusaha pula membuat tentara menjadi merah, hal mana ditentang oleh pimpinan Angkatan Darat (A.Y. Basuki, 2013: 66).
Untuk menghadapi pengaruh PKI yang semakin besar, pada tahun 1964 TNI/Angkatan Darat membentuk konsolidasi organisasi fungsional yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Melalui organisasi ini, peran TNI di dunia politik semakin menguat berkat dukungan dari sejumlah organisasi politik. Puncak dari ketegangan ini terjadi saat meletusnya peristiwa G30S, yang berakhir dengan kegagalan pemberontakan tersebut dan tewasnya tujuh perwira TNI yang kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi (A.Y. Basuki, 2013: 67).
Robert Cribb dan Audrey Kahin dalam Historical Dictionary of Indonesia (2004) menyebut pemberontakan prematur itu juga berujung pada kejatuhan Presiden Soekarno. TNI, dengan dukungan anasir antikomunis, berhasil mendorong pembubaran dan pelarangan PKI di Indonesia yang dituduh sebagai dalang G30S.
Meskipun Sukarno berupaya mencegah pertumpahan darah, pada 1965-1966 unit-unit militer, bersama sejumlah organisasi Muslim dan kelompok lainnya, melakukan pembantaian massal terhadap anggota PKI dan para pendukungnya.
Jumlah korban jiwa diperkirakan mencapai 300 ribu hingga 1 juta orang. Sedangkan ratusan ribu orang yang diduga terlibat atau memiliki hubungan dengan partai tersebut ditangkap tanpa proses pengadilan, di mana puluhan ribu di antaranya dikirim ke kamp kerja paksa di Pulau Buru (Cribb & Kahin, 2004: lxxiv).
Kemesraan ABRI dan Golkar
Saat Orde Baru berkuasa pasca-1966, Dwifungsi ABRI memasuki fase dominasi. M. Najib Azka dalam Hegemoni Tentara (1998) menjelaskan bahwa dominasi ABRI dalam pemerintahan Orde Baru dapat dijelaskan melalui dua pendekatan: kuantitatif dan kualitatif.
Secara kuantitatif, banyak anggota ABRI menempati posisi strategis di berbagai bidang sosial dan politik. Sementara itu, secara kualitatif, pengaruh ABRI tampak dari penerapan pola kerja bergaya militer dalam pengelolaan masyarakat, bangsa, dan negara. Selain itu, ABRI menjadi satu-satunya kekuatan sosial politik yang dilengkapi dengan senjata (Azka, 1998: 83).
Bilveer Singh dalam Dwifungsi ABRI, Asal-Usul, Aktualisasi dan Implikasinya Bagi Stabilitas dan Pembangunan (1995) mencatat ironi dari Jenderal Nasution yang awalnya menggagas Dwifungsi, namun kemudian menjadi pengkritik keras praktik Dwifungsi di era Soeharto (Singh, 1995: 145).
Nasution mengecam kedekatan ABRI dengan Golkar yang merusak netralitas militer dalam politik. Jenderal kawakan ini resah dengan bagaimana konsep tersebut diinterpretasikan dan diterapkan selama era Orde Baru, terutama terkait konsolidasi dan rasionalisasi kekuatan militer yang dibahas dalam Seminar Angkatan Darat Kedua.
Oleh sebab itu, pada 1966, Nasution memperingatkan para pejabat di SESKOAD agar konsep Dwifungsi dikembalikan ke makna dan pelaksanaan yang lebih murni. Ia juga mengecam keterlibatan ABRI dalam politik praktis, terutama hubungan yang dinilai tidak netral dengan partai-partai politik.
Secara khusus, Nasution menentang kedekatan ABRI dengan Golkar, terutama saat pelaksanaan Pemilu (Singh, 1995:146).
Pada masa Orde Baru (1966-1998), catat Soebijono dan rekan dalam Dwifungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia (1997), ABRI memainkan peran yang sangat aktif dalam bidang sosial politik.
Keterlibatannya dalam urusan sosial dan politik negara pada dasarnya meliputi: penentuan haluan negara serta pengendalian politik dan strategi nasional; sebagai pelopor, dinamisator dan stabilisator nasional di segala bidang; serta turut menentukan pembangunan nasional, penafsiran demokrasi Pancasila dan terlibat dalam aktivitas ekonomi negara (Soebijono, 1997: 94).
Salah satu bentuk peran ABRI sebagai kekuatan sosial politik dalam mewujudkan cita-cita Orde Baru adalah penempatan prajurit ABRI di berbagai lembaga, instansi, badan, atau organisasi di luar struktur militer.
Penugasan ini merupakan bagian dari pelaksanaan Dwifungsi ABRI. Tujuan utamanya adalah memastikan keamanan politik dan ideologi, terutama pada masa awal Orde Baru, serta mendukung kelancaran pembangunan nasional.
Langkah ini bertujuan menjamin tercapainya target program-program pembangunan yang tercantum dalam setiap Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun (Soebijono, 1997: 135).
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, ABRI menempatkan wakil-wakilnya dalam MPR, DPR, dan DPRD melalui Fraksi ABRI. Di ranah eksekutif, ABRI juga menugaskan personel-personel terpilihnya untuk menjalankan tugas negara dan pemerintahan di berbagai sektor, baik di tingkat pusat maupun daerah, dari jenjang tertinggi hingga terendah.
Selain itu, ABRI turut merumuskan gagasan dan konsep untuk mempercepat pelaksanaan program pembangunan dalam setiap Pelita (A.Y. Basuki, 2013: 68-69).
Dalam pidato kenegaraan Presiden Soeharto tanggal 16 Agustus 1967, seperti dikutip oleh (A.Y. Basuki, 2013: 69) antara lain mengatakan:
“...Dalam perkembangan politik dan kenegaraan dengan azas demokrasi Pancasila, Golongan Karya yang potensial dan mempunyai peranan yang aktif dan besar untuk mengamankan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah Golongan Karya ABRI. Besar kecilnya peranan ABRI itu tergantung bahaya yang mengancam keselamatan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bahaya yang mengancam keselamatan rakyat, kesatuan dan persatuan bangsa, serta kelangsungan hidup negara, baik bahaya itu datang dari luar maupun dari dalam.”
Dalam amanatnya pada Rapim ABRI tanggal 23 Pebruari 1970, seperti dikutip oleh (A.Y. Basuki, 2013: 69, Presiden Soeharto menekankan:
“...ABRI harus dapat menjadi kekuatan modernisasi masyarakat, menggerakkan pembangunan oleh masyarakat sendiri, justru karena ABRI sangat kaya dengan pengalaman dalam membina masyarakat pada masa-masa sulit dulu, karena sistem organisasinya yang baik, karena sifatnya yang pragmatis, karena jiwa pengabdiannya kepada kepentingan nasional dan karena ketegasan kepemimpinannya.”
Transformasi Dwifungsi ke Multifungsi ABRI
LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) melalui penelitian Bila ABRI Menghendaki (1998) mengungkap bahwa Dwifungsi memperkuat eksekutif, tetapi melemahkan lembaga legislatif dan yudikatif. Dominasi ini menimbulkan ketergantungan pada stabilitas yang bersifat represif.
Keterlibatan ABRI dalam berbagai sektor di luar bidang pertahanan dan keamanan, seperti penyelesaian konflik perburuhan dan sengketa tanah, seringkali menghasilkan solusi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Selain itu, fokus utama pada menjaga stabilitas justru menghambat perkembangan dan dinamika masyarakat (LIPI, 1998: 89).
Tentara, dalam penelitian LIPI lain yang bertajuk Bila ABRI Berbisnis juga mulai terjun ke dunia bisnis, melahirkan “benteng kapitalisme baru” yang menjadikan militer bukan lagi sekadar alat pertahanan, melainkan pelaku ekonomi dengan jaringan luas.
Dalam sistem politik Orde Baru, ABRI tidak lagi sekadar menjalankan Dwifungsi, melainkan bertransformasi menjadi kekuatan multifungsi. Mereka berperan sebagai politikus, birokrat, legislator, pengusaha, bahkan menjadi pelindung bagi berbagai kepentingan.
Keterlibatan ABRI dalam dunia bisnis pun berkembang lebih jauh, hingga akhirnya terpengaruh dan didominasi oleh kekuatan kapitalis yang masuk ke Indonesia.
Hal ini dianggap sebagai penyimpangan, karena seharusnya ABRI berperan sebagai penjaga pertahanan dan keamanan negara, bukan justru menjadi pelindung bagi kepentingan kapitalisme (LIPI, 1998: 192).