Ramai Partai Menentang Gugatan Pembatasan Masa Jabatan Ketum Parpol

Sejumlah partai menanggapi gugatan terkait pembatasan masa jabatan ketua umum parpol di Mahkamah Konstitusi.
Fakta.com, Jakarta - Dosen Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Edward Thomas Lamury Hadjon, mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Partai Politik serta Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (10/3/2025). Salah satu permohonannya, dia meminta masa jabatan ketua umum partai politik dibatasi.
Gugatan itu telah teregistrasi dengan nomor perkara 22/PUU-XXIII/2025. Dalam permohonannya, Edward menggugat sejumlah pasal, salah satunya pasal tentang pergantian kepengurusan parpol yakni Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Partai Politik yang berbunyi, "Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART."
Edward meminta agar pasal itu diubah menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pergantian Kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART dengan syarat untuk pimpinan Partai Politik memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam masa jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut."
Elite parpol pun merespons dengan berbagai macam reaksi terhadap gugatan tersebut. Adapun, parpol yang memiliki ketum yang menjabat lebih dari 5 tahun yaitu:
1. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri (1999-2025 atau 26 tahun)
2. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (2004-2029 atau 25 tahun)
3. Ketua Umum NasDem Surya Paloh (2013-2029 atau 17 tahun)
4. Yusril Ihza Mahendra (Menjabat Ketum PBB sejak 1998-2005 dan 2015-2024 atau 17 tahun)
5. Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (2015-2029 atau 14 tahun)
6. Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto (2014-2025 atau 11 tahun)
7. Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (Ketum Demokrat 2013-2020 atau 7 tahun dan Ketua Majelis Tinggi sejak 2020)

Sejumlah ketua umum parpol.
PAN: Kepemimpinan Parpol Tak Sama dengan Eksekutif
Sekretaris Jenderal DPP PAN, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio, mengatakan parpol bukanlah lembaga eksekutif yang harus dibatasi masa kepemimpinannya. Ia berujar seharusnya mekanisme pergantian kepemimpinan parpol dikembalikan ke internal parpol masing-masing, yakni sesuai dengan AD/ART parpol.
"Menurut saya, tidak tepat menyamakan kepemimpinan partai politik dengan kekuasaan eksekutif. Partai politik itu bukan lembaga eksekutif, karena di dalamnya ada orang-orang yang memiliki visi, kepentingan, dan nilai ideologis yang sama, kemudian berkumpul dan membentuk partai. Jadi, dari segi substansi, kepemimpinan di partai politik berbeda dengan di eksekutif, maka penerapan hukumnya juga seharusnya berbeda," tutur Eko melalui pesan WhatsApp yang dikirimkan kepada FAKTA pada Selasa (11/3/2025) sore.
"Kalau dalam eksekutif, ada batasan jabatan karena tugasnya adalah menjalankan pemerintahan. Sementara partai politik itu dibentuk oleh kader-kadernya sendiri dan kepemimpinannya bergantung pada keputusan internal partai. Kalau kader-kadernya masih menghendaki seorang ketua umum untuk tetap memimpin, ya itu bagian dari mekanisme internal partai, bukan sesuatu yang harus dibatasi melalui undang-undang," sambung Eko.
Menurut Eko, demokrasi dan renegerasi di dalam parpol tetap berjalan, meskipun ketumnya tak berganti setiap 5 tahun sekali. Selain itu, ukuran keberhasilan parpol juga seharusnya tak hanya dilihat dari siapa yang menjadi ketum, tetapi dari seberapa besar dukungan rakyat terhadap partai tersebut dalam pemilu dan bagaimana partai bisa menempatkan kader-kadernya di lembaga legislatif maupun eksekutif untuk menyuarakan kepentingan rakyat.
"Jadi, menurut saya, mekanisme kepemimpinan dalam partai politik sebaiknya tetap dikembalikan ke internal partai dan kadernya sendiri. Setiap partai punya dinamika dan cara masing-masing dalam memilih pemimpinnya, dan itu bagian dari kebebasan berdemokrasi yang harus kita jaga," pungkas Eko.
Demokrat Nilai Gugatan Tidak Relevan
Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat, Hinca Pandjaitan, menyebut gugatan yang diajukan oleh pakar hukum tata negara itu tak relevan dan tak nyambung, sebab masa jabatan ketum parpol merupakan kedaulatan penuh parpol untuk mengurusnya. Ia pun terang-terangan tak setuju dengan gugatan tersebut.
"Ini urusan internal konstitusi masing masing parpol yang disebut AD/ART, yang menjadi kewenangan dan hak anggota partai. Negara menghormatinya. Itu kedaulatan penuh parpol. Masing-masing parpol punya cara dan sistem sendiri. Dan sekali lagi itu soal kedaulatan parpol itu sediri. Dan juga dilindungi UU Parpol dan dihormati sistem konstitusi kita. Maka, gugatan JR (Judicial Review, Red) ke MK atas UU Parpol soal batasan masa jabatan ketua umum tidak pas dan tidak nyambung. Sangat tidak relevan. Saya tidak setuju," ucap anggota Komisi III DPR RI tersebut melalui pesan WhatsApp yang diterima Fakta.com, Selasa (11/3/2025).
PDIP: Pembatasan Melanggar Hak Berserikat dan Berkumpul
Juru bicara PDIP, Guntur Romli, menganalogikan ketum parpol sebagai ketua kelompok suku, bukan sebagai pejabat publik atau pejabat negara. Sehingga, menurut Guntur, masa jabatan ketum parpol tak perlu dibatasi oleh undang-undang.
"Ketua partai itu sama dengan ketua ormas, ketua yayasan, ketua kelompok suku/budaya, bukan pejabat publik atau negara, yang tidak harus dibatasi masa jabatan dengan UU. Tapi kalau anggota mau membatasi tidak masalah dengan aturan internal, yang perlu diingat kearifan lokal kita demokrasi itu berdasarkan kemufakatan dan musyawarah, kalau konteks kenegaraan memang dasarnya one man one vote dan pembatasan masa jabatan. Aturan internal itu namanya AD/ART," papar Guntur saat dihubungi oleh Fakta.com, Selasa (11/3/2025) sore.
Guntur menambahkan, apabila pembatasan berlebihan terhadap kedaulatan parpol dilakukan melalui undang-undang, maka dapat melanggar hak-hak berserikat dan berkumpul.
"Intinya kepemimpinan itu harus berdasarkan konsensus. Kalau konsus anggota organisasi masih mau memilih pemimpinnya, itu hak konsensus anggota yang harus dihormati. Sebagai organisasi nonpemerintah, partai itu juga harus otonom. Pembatasan berlebihan dari luar, bisa melanggar hak-hak berserikat dan berkumpul," ujarnya.
Guntur pun membandingkan dengan negara Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman yang masa jabatan ketum parpolnya juga tak dibatasi oleh undang-undang.
"Di Amerika Serikat (Partai Republik dan Partai Demokrat), Inggris (Partai Buruh dan Partai Konservatif), di Jerman (CDU alias Partai Kristen Demokrat) tidak ada pembatasan masa jabatan ketua partai. Tapi kalau diperlukan ganti (ketum parpol), ya ganti," kata Guntur.
NasDem Sindir Masa Keanggotaan DPR Tak Dibatasi
Sekretaris Jenderal DPP Partai NasDem, Hermawi Taslim, mengatakan masa jabatan ketum parpol sama seperti masa jabatan keanggotaan DPR. Seharusnya, apabila masa jabatan keanggotaan DPR pun tak dibatasi oleh undang-undang, maka masa jabatan ketum parpol juga tak dibatasi.
"Menurut saya, selama masa jabatan keanggotaan DPR tidak dibatasi, maka seyogyanya masa jabatan ketum partai tidak usah dibatasi. Jadi menurut saya selama tidak ada pembatasan masa jabatan anggota DPR, maka tidak elevan membicarakan pembatasan atau periode masa jabatan ketum partai," tutur Hermawi kepada Fakta.com, Selasa (11/3/2025) malam.
Adapun, hal yang mendasari Hermawi membandingkan masa jabatan ketum parpol dengan masa keanggotaan DPR ialah jabatan di parpol berkorelasi langsung dengan keanggotaan DPR yang bersumber dari pemilu yang diikuti oleh parpol.
"Mengajukan gugatan berarti telah menggunakan hak konstitusional yang dijamin oleh UU dan itu sah serta harus di hormati. Menjadi ketum partai juga hak konstitusional tanpa batasan waktu dan hal tersebut dijamin oleh UU. Jabatan-jabatan di partai berkorelasi langsung dengan keanggotaan DPR yang bersumber dari pemilu yang diikuti oleh partai-partai politik," jelas Hermawi.