Potensi Otoritarianisme di Balik Normalisasi Militer di Ranah Sipil

Sejumlah pengamat mengkritik upaya menempatkan kembali prajurit TNI aktif di sejumlah pos jabatan sipil. (Foto: ilustrasi)
Fakta.com, Jakarta - Sejumlah pengamat mengkritik upaya menempatkan kembali prajurit TNI aktif di sejumlah pos jabatan sipil. Kritik ini disampaikan dalam rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI bersama Komisi I DPR RI pada dua hari berturut-turut.
Mulanya, pakar pertahanan dari Imparsial Al A’raf dan pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengkritik pernyataan Mayjen TNI (Purn.) Rodon Pedrason yang disampaikan dalam rapat pembahasan RUU TNI bersama Komisi I DPR RI.
Dalam rapat tersebut, Rodon menyarankan agar personel TNI dapat mengisi pos-pos jabatan sipil di luar yang diatur dalam Pasal 47 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
"Kenapa disebutkan 10 lembaga ini? Kenapa enggak kita biarkan terbuka seperti undang-undang yang ada di polisi? Dengan demikian, tidak menimbulkan debat," kata Mayjen TNI Purn. Rodon di Gedung DPR RI, Jakarta.
Menurut Fahmi, gagasan tersebut perlu dikritisi karena membuka potensi pergeseran fungsi militer yang seharusnya tetap profesional dan berjarak dari ranah sipil. Ia menegaskan bahwa jika batasan dalam pasal tersebut dihapus tanpa pengawasan yang ketat, ada risiko personel aktif TNI akan ditempatkan di berbagai bidang tanpa kendali yang jelas.
“Ini bukan sekadar soal fleksibilitas kebijakan, tetapi bisa berdampak pada pergeseran fungsi militer yang seharusnya tetap profesional dan berjarak dari ranah sipil,” ujar Fahmi.
Senada dengan itu Al A’raf menekankan pentingnya tentara untuk tetap bergerak dalam koridornya. Menurut peneliti senior Imparsial ini, keberadaan militer aktif dalam birokrasi sipil akan mengganggu merit sistem yang dibentuk oleh pegawai sipil yang berkarier di sana.
“Para pegawai negeri sipil punya harapan, punya mimpi untuk menjadi direktur, untuk menjadi pejabat, tapi stop ketika jabatannya diisi oleh militer aktif, oleh polisi aktif,” kata A’raf dalam rapat bersama Komisi I DPR RI terkait RUU TNI pada Selasa (4/3/2025) di Jakarta.
Menurutnya, selain melanggar undang-undang, hal itu akan melemahkan profesionalisme tentara.
Selain pernyataan Rodon, pakar pertahanan Kusnanto Anggoro, yang juga hadir dalam kesempatan yang sama, melontarkan pernyataan kontroversial. Menurutnya TNI tidak mungkin kembali menerapkan dwifungsi seperti di era Orde Baru karena fraksi militer di DPR sudah tidak ada lagi. Namun, menurut Fahmi, kekhawatiran terhadap perluasan peran militer di ranah sipil bukanlah hal yang tak berdasar.
“Bukan hanya soal keberadaan militer di parlemen, tetapi juga keterlibatan mereka dalam birokrasi, ekonomi, dan kebijakan publik,” ungkap Fahmi.
Jika revisi UU TNI membuka celah tanpa mekanisme kontrol yang ketat, menurutnya akan ada kemunculan pola keterlibatan militer yang lebih halus namun tetap signifikan.
Mencegah Dampak Negatif Revisi UU TNI
Fahmi mengusulkan beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk mencegah dampak negatif dari revisi UU TNI ini.
Pertama, menegaskan batasan dalam penugasan prajurit aktif. Revisi UU TNI harus secara spesifik mengatur kriteria, mekanisme, serta durasi penugasan prajurit aktif di luar struktur militer. Jika ada kementerian/lembaga baru yang membutuhkan kehadiran TNI, perlu ada mekanisme persetujuan dari Presiden. “Ini penting agar tidak ada interpretasi yang terlalu fleksibel yang bisa disalahgunakan di masa depan,” ujarnya.
Kedua, pengawasan ketat dan akuntabilitas DPR, Komisi I, serta Kementerian Pertahanan dan TNI harus memiliki mekanisme evaluasi berkala terhadap efektivitas dan dampak dari penempatan prajurit aktif di jabatan sipil. Menurut Fahmi, harus ada kriteria jabatan yang diperbolehkan, mekanisme evaluasi berkala, serta batas waktu penugasan agar tidak terjadi penguasaan institusi sipil oleh unsur militer.
Ketiga, menjaga jarak TNI dari politik dan bisnis. TNI harus tetap netral dalam politik dan tidak boleh terlibat dalam bisnis. Jika alasan revisi itu untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit, kata Fahmi, jalannya bukan dengan membuka ruang berbisnis, melainkan dengan memastikan dukungan anggaran yang cukup dari negara. Selain itu dana pertahanan harus dikelola secara akuntabel.
Terakhir, melibatkan aspirasi masyarakat. DPR dan pemerintah harus melibatkan berbagai pihak dalam diskusi mengenai revisi ini, termasuk akademisi, organisasi masyarakat sipil, purnawirawan TNI, serta masyarakat umum.
“Hasil akhirnya adalah regulasi yang benar-benar menjawab kebutuhan strategis negara tanpa mengorbankan prinsip supremasi sipil dan profesionalisme TNI,” jelas Fahmi.
Operasi Militer Selain Perang: Jalan Keluar Dwifungsi TNI
Pakar pertahanan sekaligus peneliti senior Imparsial Al A’raf memberikan alternatif kepada masalah penumpukan perwira selain memasukannya dalam jabatan sipil. Operasi militer selain perang dianggapnya cocok untuk menampung para perwira yang tak dapat tempat.
Secara historis, operasi tersebut, kata A’raf, berkembang karena adanya konflik internal di berbagai negara seperti Somalia, Yugoslavia, dan Sudan, yang menimbulkan krisis kemanusiaan. Dalam konteks ini, PBB menganggap bahwa operasi perdamaian perlu dilakukan, dan TNI memiliki reputasi yang baik dalam menjalankan misi tersebut.

Operasi perdamaian TNI di Lebanon. (Foto: Dok. Istimewa)
Menurutnya, fokus utama dalam operasi selain perang seharusnya adalah memperkuat tugas-tugas militer dalam operasi perdamaian dunia, bukan justru memberikan ruang bagi keterlibatan TNI dalam jabatan sipil.
“Kita harus mendorong operasi militer selain perang untuk lebih berorientasi pada operasi perdamaian. Dunia mengakui bahwa tentara Indonesia memiliki kualitas yang baik dalam operasi-operasi perdamaian,” ujarnya.
Lebih lanjut, Al A’raf menekankan bahwa pelaksanaan operasi selain perang harus memenuhi beberapa prinsip utama. Pertama, operasi ini harus memiliki dasar hukum yang jelas dan tidak bisa dilakukan sembarangan tanpa pengaturan dalam undang-undang.
Kedua, operasi ini harus menjadi opsi terakhir (last resort) dalam konteks domestik, yang hanya boleh dilakukan jika kapasitas sipil benar-benar tidak mampu menangani situasi tertentu. Pelibatan TNI dalam urusan domestik, seperti ketahanan pangan, dinilai menyalahi prinsip ini karena masih bisa ditangani oleh institusi sipil.
Ketiga, ia menegaskan bahwa operasi selain perang bersifat sementara dan tidak boleh menjadi bagian permanen dari tugas TNI. Keempat, pelaksanaannya harus dilakukan secara proporsional dan sesuai kebutuhan.
Kelima, operasi ini harus memiliki asas manfaat yang jelas dan dapat diukur melalui eskalasi ancaman serta kapasitas sipil dalam mengatasinya. Selain itu, tugas utama TNI, menurut A’raf, tetaplah sebagai alat pertahanan negara dalam operasi perang, sehingga operasi selain perang tidak boleh mengalihkan fokus dari peran inti tersebut.
Al A’raf juga mengingatkan bahwa dalam situasi darurat sipil atau militer, pelibatan TNI masih dimungkinkan dalam batas-batas tertentu. Namun, dalam kondisi normal, tugas TNI tetap harus difokuskan pada fungsi pertahanan negara.
Ia menegaskan bahwa normalisasi peran militer dalam kehidupan sipil di negara demokrasi dapat berujung pada sekuritisasi dan cenderung mengarah pada otoritarianisme.
“Jangan lakukan normalisasi militer dalam kehidupan sipil di negara demokrasi. Jika hal ini terjadi, kita akan mengarah ke sekuritisasi, yang berpotensi membawa negara ke arah otoritarianisme,” tegasnya.