2 Bahaya Mengintai saat TNI Aktif Duduki Jabatan Sipil Menurut Pakar

Ilustrasi. Pakar mengkritik masuknya TNI di banyak jabatan sipil. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/hp)
FAKTA.COM, Jakarta - Makin banyaknya personel TNI aktif di jabatan-jabatan sipil dinilai bisa memicu otoritarianisme hingga hilangnya kesempatan karier pejabat sipil.
“Jangan lakukan normalisasi militer dalam kehidupan sipil di negara demokrasi. Jika hal ini terjadi, kita akan mengarah ke sekuritisasi, yang berpotensi membawa negara ke arah otoritarianisme,” kata Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi I DPR tentang Revisi Undang-Undang TNI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/3/2025).
Hal ini dikatakannya terkait pernyataan Advisor Defense Diplomacy Strategic Forum Mayjen TNI (Purn.) Rodon Pedrason yang menyarankan agar personel TNI dapat mengisi pos-pos jabatan sipil di luar yang diatur dalam Pasal 47 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Pasal 7 ayat (2) UU TNI menyebutkan 14 jenis operasi militer selain perang (OMSP) yang menjadi tugas pokok TNI. Di antaranya adalah mengatasi gerakan sparatis hingga terorisme, membantu pemerintah daerah, membantu pencarian dan pertolongan.
Ranah OMSP ini menjadi patokan jabatan-jabatan sipil mana saja yang bisa ditempati oleh TNI aktif. Namun, penempatannya didasarkan oleh "kebijakan dan keputusan politik negara."
"Kenapa enggak kita biarkan terbuka seperti undang-undang yang ada di polisi? Dengan demikian, tidak menimbulkan debat," kata Rodon dalam rapat dengan Komisi I DPR, Senin (3/3/2025).

Pakar pertahanan Al Araf, di RDPU Komisi I DPR, Jakarta, Selasa (5/3/2025). (Tangkapan layar YouTube Komisi I DPR)
Lebih lanjut, Al Araf menekankan pelaksanaan OMSP harus memenuhi beberapa prinsip utama. Pertama, memiliki dasar hukum yang jelas dan tidak bisa dilakukan sembarangan tanpa pengaturan dalam UU.
Kedua, opsi terakhir (last resort) dalam konteks domestik, yang hanya boleh dilakukan jika kapasitas sipil benar-benar tidak mampu menangani situasi tertentu. Ia mencontohkan dengan pelibatan TNI dalam urusan ketahanan pangan, yang dinilainya menyalahi prinsip.
Ketiga, Aal, panggilan akrab Al Araf, menegaskan OMSP bersifat sementara dan tidak boleh menjadi bagian permanen dari tugas TNI.
Keempat, pelaksanaannya harus dilakukan secara proporsional dan sesuai kebutuhan.
Kelima, operasi ini harus memiliki asas manfaat yang jelas dan dapat diukur melalui eskalasi ancaman serta kapasitas sipil dalam mengatasinya.

Novi Helmy Prasetya diangkat jadi Kepala Bulog dan dinaikkan pangkatnya jadi Letjen. (Instagram TNI AD)
Alat pertahanan negara
Di luar OMSP itu, tugas utama TNI tetaplah sebagai alat pertahanan negara dalam operasi perang. Sehingga, OMSP tidak boleh mengalihkan fokus dari peran inti tersebut.
Selain melanggar undang-undang, sambung Al A'raf, fokus di OMSP akan melemahkan profesionalisme tentara.
Al Araf menyebut dalam situasi darurat sipil atau militer pelibatan TNI masih dimungkinkan dalam batas-batas tertentu. Namun, dalam kondisi normal tugas TNI tetap harus difokuskan pada fungsi pertahanan negara.
Jika terus dipaksakan, yang jadi korban adalah penempatan jabatan sesuai keahlian (merit system). Para pegawai yang berkarier di tempat terkait akan tak terakomodasi.
“Para pegawai negeri sipil punya harapan, punya mimpi untuk menjadi direktur, untuk menjadi pejabat, tapi setop ketika jabatannya diisi oleh militer aktif, oleh polisi aktif,” ujar Araf.
Untuk mengatasi masalah ini, Aal menyarankan para perwira yang tak dapat tempat di posisi militer bisa diposisikan di sektor operasi perdamaian. TNI pun memiliki reputasi yang baik dalam menjalankan misi tersebut.
“Kita harus mendorong operasi militer selain perang untuk lebih berorientasi pada operasi perdamaian. Dunia mengakui bahwa tentara Indonesia memiliki kualitas yang baik dalam operasi-operasi perdamaian,” tuturnya.

Anggota Komisi I DPR Mayjen Purn. Tb Hasanuddin menyarankan seleksi buat TNI aktif masuk jabatan sipil. (dok. Antara)
Seleksi ketat
Anggota Komisi I DPR Tb Hasanuddin berpendapat penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil bisa dilakukan sepanjang melewati seleksi.
"Mereka (TNI, Red) itu kan jago bertempur. Belum tentu jago di urusan pertanian. Jago bertempur, belum tentu jago di urusan peternakan," ujarnya, dalam rapat yang sama.
"Sehingga harus selektif seseorang prajurit TNI aktif ditempatkan di kementerian atau lembaga tersebut harus punya kapasitas. Juga memang harus sesuai kebutuhan, benar-benar di tempat itu butuh. Nah kalau tidak butuh, jangan dipaksakan," terang dia.
Politikus PDIP yang merupakan purnawirawan TNI itu juga menekankan jangan sampai ada kecemburuan dari ASN yang bekerja di lembaga atau kementerian apabila ada prajurit TNI aktif yang tiba-tiba menduduki jabatan sipil yang cukup tinggi.
"Jangan sampai ada kecemburuan dari ASN. ASN itu sudah merintis, tiba-tiba mau jadi Dirjen (Direktorat Jenderal, Red), datanglah tentara. Ya kan kasihan," tuturnya.
Pria yang akrab dipanggil Kang Tebe ini pun menggarisbawahi agar tak ada fasilitas ganda bagi prajurit TNI aktif yang menjabat juga di ranah jabatan sipil.
"Pokoknya jangan sampai ada gaji double, mobil [dinas] double," pungkasnya.