Deret Letupan Kecil yang Bikin Amarah Publik Memuncak di Demo #IndonesiaGelap
Demo Indonesia Gelap di Jakarta, Jumat (21/2/2025). (Fakta.com/Dhia Oktoriza)
FAKTA.COM, Jakarta – Aksi ribuan massa bertajuk #IndonesiaGelap di Bundaran Patung Kuda, Jakarta, Jumat (21/2/2025), dinilai bentuk kemarahan publik atas berbagai inkonsistensi Pemerintah.
Dengan membawa tema "Pemerintah Jahat, Rakyat Sekarat, Ayo Bangun Persatuan! Keadaan Sudah Gawat!", massa menyuarakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap menindas dan memperburuk kondisi sosial-ekonomi masyarakat.
"Ini adalah bentuk kampanye kemarahan rakyat, kemarahan masyarakat sipil atas kegagalan 100 hari Prabowo-Gibran," ujar Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil Tegar Afriansyah, Jumat (21/2/2025).
Dia juga menjelaskan bahwa aksi demonstrasi yang digelar saat itu berbeda dengan yang diusung oleh Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) pada Kamis (20/2/2025). Massa aksi BEM SI kala itu membubarkan diri pasca ditemui oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi.
Mewakili Koalisi Masyarakat Sipil, Tegar menegaskan bahwa “Aksi hari ini menunjukkan dan mengkampanyekan kepada masyarakat bahwa masih ada masyarakat yang berani turun ke jalan tanpa harus ketemu pihak Istana, tanpa harus mengundang pihak Istana."
"Ini adalah bentuk artikulasi yang nyata, bukan rekayasa yang dilakukan oleh istana, tapi inilah kemarahan rakyat, kemarahan seluruh elemen gerakan masyarakat sipil,” imbuhnya.
Koalisi Masyarakat Sipil pun menyampaikan 28 tuntutan yang dianggap sebagai kunci perbaikan kondisi negara, di antaranya adalah pendidikan gratis, ilmiah & demokratis, cabut revisi UU Minerba.
Selain itu, hapuskan multifungsi TNI-Polri, tolak pembungkaman berekspresi, hentikan represifitas negara dan berikan akses masuk jurnalis di Papua serta evaluasi total program Makan Bergizi Gratis.
Demo Indonesia Gelap ricuh
Aksi demo Indonesia Gelap ricuh akibat tembakan petasan, Jakarta, Jumat (21/2025). (Fakta.com/Hendri Agung/Dhia Oktoriza)
Indonesia Gelap Gulita
Dalam acara diskusi ‘Kala Polisi dan Militer Kembali ke Politik’ yang dihelat di Kedai Utan Kayu, Jakarta, Rabu (19/2/2025), pakar politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun berpendapat bahwa kondisi Indonesia saat ini tak hanya gelap, melainkan "gelap gulita."
"Apa argumennya? Pertama, agenda reformasi itu telah dirusak hampir sempurna. KPK dilemahkan…itu tanda gelap," ujarnya.
"Kemudian yang kedua merekrut tentara dan polisi aktif di pemerintahan dan kemudian mau ada revisi undang-undang tentara yang melegalkan dwifungsi,” lanjut Ubed.
Ketiga, kata dia, gagasan koalisi permanen dari Prabowo Subianto, yang dinilainya sama dengan mengunci hak-hak sipil.
"Keempat, Prabowo terang-terangan mengatakan 'saya belajar politik dari Jokowi' yang oleh OCCRP ditempatkan sebagai presiden terkorup. Kelima, parlemen tidak bersuara,” Ubed menambahkan.
Akademisi yang dicopot dari posisinya sebagai Koordinator Program Studi Sosiologi di UNJ tanpa pemberitahuan itu juga menyoroti keadaan ekonomi Indonesia yang suram.
“Jadi tanda-tanda makin gelapnya republik itu tinggi dan ekonomi juga tidak bergerak, satgnan sampai harus kemudian melakukan efisiensi, mengorbankan pendidikan, mengorbankan kesehatan,” urainya.
Turunnya ribuan mahasiswa ke jalanan di seluruh pelosok negeri, menurut Ubed, salah satunya dipicu efisiensi yang langsung merugikan kelompok intelektual itu.
Aksi Indonesia Gelap. (Fakta.com/Dhia Oktoriza)
Aksi Indonesia Gelap. (Fakta.com/Dhia Oktoriza)
“Korbannya pendidikan. Kenapa mahasiswa gelisah? Kan itu empirik, terancam beasiswanya akan hilang, anggaran untuk kepentingan pendidikan yang lainnya dikurangi. Ya makin gulita” jelasnya.
Kementerian Keuangan sendiri sudah membantah pemotongan anggaran untuk program beasiswa, termasuk KIP Kuliah. Slide yang tersebar soal efisiensi anggaran pendidikan itu baru usulan dari Dirjen Anggaran Kemenkeu.
Kepuasan semu dan reformasi Polri
Dalam acara diskusi yang sama, pengamat politik Ray Rangkuti hasil survei tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran yang dirilis oleh Survei Litbang Kompas pada 20 Januari 2025.
"Kalau sekiranya setelah 80,9 persen tingkat kepuasan itu, kan enggak ada istilah Indonesia Gelap dong. [Harusnya] 'Indonesia Cerah' dan 'Indonesia Puas'. Tapi ternyata…setelah survei itu, ribuan mahasiswa pada turun ke jalan, dan hari ini kita mendengar ada reshuffle,” ujar Ray.

Pengamat politik Ray Rangkuti menyoroti kekecewaan terhadap Polri. (dok. Istimewa)
“Jadi sebetulnya 80,9 persen itu kepuasan semu, kepuasan manipulatif. Disengaja dibuat untuk menutupi 100 hari, padahal setelah 100 hari itu yang terjadi adalah berbagai protes-protes ini yang kelihatan,” tambahnya.
Menanggapi isu reshuffle yang terjadi dalam waktu singkat, Ray menilai bahwa seharusnya Prabowo tidak hanya mencopot sejumlah menteri yang bermasalah, melainkan juga kepala institusi seperti Polri.
“Siapa yang kira-kira paling penting segera dicopot oleh presiden, menurut saya rating pertamanya itu adalah Kapolri. Kenapa? Karena Kapolri gagal mepresisikan institusi polisi. Alih-alih presisi, yang ada adalah makin persis seperti politisi,” tegasnya.
Untuk diketahui, Polri menjadi salah satu institusi yang paling problematik di Indonesia. Selama 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, KontraS mencatat ada 136 kasus kekerasan oleh polisi, jauh TNI yang melakukan 12 kasus.
“Kultur kekerasan di dalam tubuh Kepolisian, bahkan TNI, justru terlihat semakin mendarah daging,” ujar Koordinator Badan Pekerja KontraS Dimas Bagus Arya, dalam keterangan resmi, pada Senin, (20/2).
Di tengah Indonesia Gelap, Ray masih berharap ada sinar terang yang setidaknya muncul dari institusi polisi. Sinar tersebut hanya akan hadir jika Presiden Prabowo berani mencopot Listyo dari kursi pimpinan Polri.