Siklus Klasik 'Trial and Error' Kebijakan Prabowo, Batal usai Diprotes Keras

Salah satu momen pembatalan kebijakan strategis, yakni kenaikan PPN 12 persen, di Kemenkeu, 31 Desember 2024. (Instagram @smindrawati)
FAKTA.COM, Jakarta - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto punya pola khas soal siklus kebijakan publiknya, yakni perubahan tiba-tiba kebijakan setelah mendapatkan penolakan dari masyarakat. Haus pencitraan atau memang kebijakan tanpa kajian?
Di akhir 2024, Prabowo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menggelar konferensi pers pengumuman pembatalan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen.
Kenaikan PPN itu sebelumnya kukuh digelontorkan meski menuai kritis luas dan keras masyarakat. Saat dibatalkan, Prabowo dan Sri Mulyani mengungkap insentif yang mulanya buat efek kenaikan PPN tetap diberlakukan walau kenaikan PPN-nya batal.
Pada awal Februari, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengumumkan pembatalan pembatasan distribusi gas LPG 3 kg usai bertemu Prabowo.
Kebijakan yang mulanya kukuh dipertahankan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia itu diprotes banyak warga penikmat subsidi karena memicu kelangkaan hingga korban.
Dasco juga menyebut program pembatasan LPG itu bukan programnya Prabowo.
Di pertengahan Februari, Pemerintah batal menarik uang setoran dari para kepala daerah yang akan menjalani retret atau pembekalan di Akademi Militer (Akmil) Magelang.
Mensesneg Prasetyo Hadi menjawab soal polemik retret kepala daerah
Mensesneg Prasetyo Hadi menjawab soal polemik retret kepala daerah, di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (14/2/2025). (Fakta.com/Yasmina Shofa)
Itu terjadi usai viralnya Surat Edaran Mendagri yang menunjukkan tujuan setoran adalah perusahaan yang dimiliki kader Gerindra, PT Lembah Tidar. Sebagai gantinya, Kemendagri memakai APBN yang tengah dihemat buat acara 'ospek' tersebut.
Coba-coba
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansah menduga kebijakan-kebijakan yang diambil cenderung bersifat tes ombak dan banyak bertujuan untuk kepentingan politik.
“Memang cenderung trial and error, testing water, atensi publik, tes ombak," ujarnya, kepada FAKTA, Senin (17/02/2025)
Menurutnya, kebijakan-kebijakan kontroversial itu "memang lebih menekankan kepada kepentingan sosok."
"Memang Presiden itu ingin menunjukkan power-nya, kekuatan dan kewenangannya bahwa semua kebijakan itu berujung kepada presiden. Jadi itu lebih banyak ke politik saja,” ujar Trubus, saat dihubungi oleh Fakta pada Senin, (17/02/2025).
Senada, pengamat politik Usep Saepul Ahyar mengatakan pola pengambilan keputusan pemerintah ini menunjukkan ketiadaan kajian yang matang.
“Diambil, misalnya, tanpa pertimbangan yang matang lalu kemudian dikeluarkan ke masyarakat dan ketika diprotes dirasa merugikan, lalu kemudian dicabut lagi. Dan dia pahlawannya,” kata Usep.
“Jadi kan menurut saya pengambilan keputusan seperti itu. Melempar tanpa pertimbangan matang lalu kemudian melihat reaksi dan setelah itu lalu kemudian dibikin respons. Itu sebenarnya cara pengambilan keputusan yang buruk” lanjutnya.
Usep menduga pola seperti itu dilakukan Prabowo untuk menjaga kepuasan publik terhadap pemerintahan dan dirinya.
“Mungkin juga sebenarnya dia sedang menjaga kepuasan publik gitu, kepuasan publik itu dibangun dengan opini,” ucap Usep.
“Lalu kemudian juga muncul ya, apa namanya, ungkapan-ungkapan ya Prabowo sebagai pahlawannya. Jadi selalu begitu. Orang kan kemudian bertanya, lho Anda yang membuat masalah sekarang Anda yang jadi pahlawan” kata dia.
Walhasil, ia pun menangkap kesan terhadap pemerintah saat ini bak sedang mempermainkan rakyatnya.
“Masyarakat kok dimainkan begitu. Itu kan menurut saya cara mempermainkan rakyat,” ujar Usep.
Sentralistik
Usep turut menyoroti keputusan-keputusan yang diambil pemerintahan terkesan hanya berdasar pada keinginan Prabowo.
“Itu (pengambilan keputusan) tertuju, tersentral pada keinginan bos nya. Lalu kemudian ini kan akhirnya dalam penyelesaiannya juga one man show. Itu di satu sisi dengan cepat menyelesaikan masalah” ungkapnya.
“Tapi di sisi lain ini kan preseden buruk gitu. Semuanya tergantung pada Pak Prabowo. Jadi menteri-menteri itu sudah menafsirkan atau mengimplementasikan sesuai dengan cara bacanya terhadap keinginan Pak Prabowo” ucap dia.
Ia menilai sikap populis yang kerap diambil Prabowo itu merupakan suatu langkah yang bagus meski kadung memakan korban.

“Ada beberapa hal yang menurut saya kebijakan-kebijakan Pak Prabowo yang populis itu bagus ya dalam konteks gagasan besarnya," tuturnya.
"Cuman kan banyak hal yang mungkin untuk menjalankan itu juga kan harus banyak penyesuaian-penyesuaian yang kemudian kadang-kadang memakan korban juga,” ujar dosen di Unsera itu.
Menurutnya, "kebijakan eksekutif itu terlalu kuat, lalu kemudian karena didukung juga oleh politik-politik yang barter dengan menteri dan jabatan-jabatan lain, itu kemudian membuat check and balances itu."
Di pihak lain, fungsi DPR sebagai penyeimbang eksekutif dan legislatif, terbilang 'mati'.
“Rakyat kan punya wakil rakyat yang sesungguhnya menjadi kanal untuk melakukan protes" urai Usep.
" Tapi ternyata masyarakat harus turun sendiri dan masyarakat menggunakan metode-metode yang mereka bisa. Dengan kanal-kanal yang mereka bisa. Misalnya kanal-kanal media sosial. Harusnya peran-peran seperti ini DPR juga memerankan itu” lanjutnya.
“Sehingga tidak perlu sesungguhnya misalnya kalau DPR-nya berjalan dengan baik, menjalankan fungsi check and balances itu, itu selesai di tingkat itu. Ini kan ke tingkat masyarakat. Dan itu sudah memakan korban” ujarnya.
Penyebabnya adalah kabinet Prabowo yang terlalu gemuk dan banyak diisi oleh kepentingan-kepentingan partai politik.
“Zaken kabinet itu kan isinya teknokrat sama akademisi, memang ada parpol tapi porsinya sedikit. Kalau ini kan parpol semua, atau orang-orang yang di-endorse oleh parpol."
"Sehingga saya melihat banyak persoalan-persoalan itu kemudian diarahkan ke politik, kepentingan politik-politik itu” tandasnya. (Fakta.com/Daffa Prasetia)