Hasto Tuding Jokowi Lakukan De-Soekarnoisasi seperti Orde Baru

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menuding Jokowi melakukan upaya de-Soekarnoisasi seperti yang pernah terjadi pada era Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto. (Foto: Dok. Istimewa)
Fakta.com, Jakarta - Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menuding Presiden ke-7 RI Joko Widodo melakukan upaya de-Soekarnoisasi seperti yang pernah terjadi pada era Orde Baru di bawah Presiden ke-2 RI Soeharto.
Menurut Hasto, penilaian itu atas dasar Jokowi tidak mengimplementasikan gagasan Trisakti dan pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana sesuai ajaran Sukarno.
Dampaknya, kata Hasto, masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak mengakui kontribusi dan peran penting Sukarno sebagai Bapak Bangsa Indonesia.
“Akibat de-Soekarnoisasi yang dilakukan oleh Orde Baru dan dalam konteks seperti ini, dalam disertasi saya, saya juga tegaskan bahwa Presiden Jokowi ini juga pada dasarnya melakukan de-Soekarnisasi jilid kedua, karena berbagai konsep-konsep tentang Trisakti, Pola Pembangunan Semesta Berencana, itu tidak diimplementasikan dengan baik," kata Hasto dalam pidatonya di hadapan kepala daerah terpilih yang diusung oleh PDIP di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Rabu (12/2/2025).
Sebelumnya, Hasto dalam disertasinya yang berjudul "Kepemimpinan Strategis Politik, Ideologi, dan Pelembagaan Partai serta Relevansinya terhadap Ketahanan Partai: Studi pada PDI Perjuangan" juga sempat menyindir Jokowi.
Hasto menulis tentang ambisi kekuasaan yang dilakukan Jokowi saat menjabat presiden, berdampak pada kerusakan demokrasi dan lemahnya supremasi hukum.
Dalam disertasinya, Hasto memaparkan PDIP sebagai partai politik mendapatkan guncangan pada Pilpres 2024 berupa penyalahgunaan kekuasaan, yakni abuse of power dan power behavior dengan karakternya authoritarian populism.
"Presiden Jokowi yang seharusnya menjadi sumber keteladanan dan otoritas moral, terbukti secara kualitatif dan kuantitatif justru menjadi core element ambisi kekuasaan, demi perpanjangan pengaruh kekuasaannya," ucap Hasto dalam sidang terbuka promosi Doktor Kajian Strategik dan Global di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Jumat (18/10/2024).
Mengenal De-soekarnoisasi
Desukarnoisasi, menurut Agus Sudibyo dalam “De-Soekarnoisasi Dalam Wacana Resmi Orde Baru, Jurnal Sosial Politik, Vol. 2, No. 1, Juli 1998” adalah berbagai upaya untuk menghapus pengaruh dan ajaran-ajaran Sukarno dalam kehidupan birokrasi, militer dan masyarakat pada umumnya.
Selain itu desukarnoisasi juga berarti usaha untuk mengaburkan peranan dan kontribusi Sukarno dalam sejarah. Upaya ini, menurut Agus, tak hanya terjadi di tingkat legal dan birokrasi, tetapi juga dalam ranah simbolik melalui wacana sejarah, media massa, dan sistem pendidikan.

Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Sukarno. (Foto: Wikimedia)
Setelah kejatuhan Sukarno pada tahun 1966 dan naiknya Soeharto sebagai pemimpin Orde Baru, muncul kebutuhan bagi rezim baru untuk menegaskan legitimasinya. Sukarno memiliki pengaruh yang sangat besar, baik secara politik, ideologi, maupun simbolik sebagai proklamator kemerdekaan dan pemimpin revolusi.
Orde Baru melihat pengaruh ini sebagai ancaman bagi stabilitas rezim mereka. Oleh karena itu, menurut Agus, Soeharto menggunakan dua strategi utama untuk melemahkan pengaruh Bung Karno.
Pertama, delegitimasi manifest; melalui mekanisme legal-formal seperti pencabutan kekuasaan Sukarno oleh MPRS pada tahun 1967, pembubaran PKI yang dikaitkan dengan Sukarno, serta pembersihan loyalis Sukarno dari birokrasi dan militer.
Kedua, delegitimasi simbolik-laten; penghapusan peran Sukarno dalam sejarah, pengaburan kontribusinya terhadap Pancasila, serta pembentukan narasi negatif terhadapnya dalam buku teks sejarah, media, dan perdebatan publik.
Ragam Peristiwa De-soekarnoisasi
De-soekarnoisasi muncul dalam bentuk pelarangan tulisan dan ideologi Bung Karno. Setelah peristiwa G30S/1965, menurut Agus, publikasi buku-buku karya Bung Karno dilarang, dan referensi terhadap ajaran-ajarannya seperti Nasakom dan Trisakti dihapus dari wacana resmi negara.
De-soekarnoisasi, tulis Agus, tak hanya berhenti pada pembabatan tulisan dan pemikiran Sukarno, tapi juga pengaturan kuburannya. Bung Karno wafat pada tahun 1970 dan keluarganya menginginkan agar ia dimakamkan di Bogor, sesuai dengan wasiatnya. Namun, pemerintah Orde Baru memutuskan untuk memakamkannya di Blitar, jauh dari pusat kekuasaan, guna meredam kemungkinan kebangkitan kultus terhadapnya.
Penghilangan ingatan publik akan figur Presiden ke-1 RI juga tampil melalui revisi sejarah dalam buku teks pendidikan. Dalam buku teks sejarah yang digunakan di sekolah selama rezim Soeharto, menurut Agus, peran Bung Karno dalam perjuangan nasional sering diminimalkan atau disajikan secara negatif. Misalnya, ia hanya disebut sebagai pembaca teks proklamasi, tanpa menyoroti peran sentralnya dalam pergerakan kemerdekaan.
Soeharto juga turut melakukan stigmatisasi Bung Karno dalam wacana G30S/1965. Menurut Agus, kendati tak ada bukti yang jelas bahwa Bung Karno terlibat langsung dalam peristiwa G30S, narasi resmi yang berkembang di media massa dan buku putih pemerintah cenderung menggiring opini publik bahwa ia memiliki kedekatan dengan PKI.
Hari besar nasional yan berkaitan erat dengan tokoh ‘Penyambung Lidah Rakyat’ itu juga turut dihapus. Pada masa Orde Baru, peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni yang dirancang oleh Bung Karno tidak diakui, dan pengajaran tentang Pancasila lebih dikaitkan dengan tafsir Soeharto melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Jokowi Ikut Bersihkan Nama Sukarno
Meskipun demikian, berbagai upaya ini tidak sepenuhnya berhasil. Setelah jatuhnya Orde Baru pada 1998, terjadi rehabilitasi terhadap Sukarno, termasuk pengakuan kembali atas perannya sebagai Proklamator dan pengusulan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila.
Rehabilitasi nama Sukarno tak hanya dilakukan oleh Megawati Sukarnoputri dan PDIP yang mengaku sebagai pewaris Putera Sang Fajar itu.
Jokowi juga menegaskan sejarah dan gelar pahlawan nasional Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, Ir. Sukarno. Dalam keterangannya terkait Hari Pahlawan tahun 2022, Jokowi mengatakan bahwa Bung Karno tidak pernah mengkhianati bangsa dan telah memenuhi syarat penganugerahan gelar kepahlawanan.
“Tahun 1986 pemerintah telah menganugerahkan pahlawan proklamator kepada Ir. Soekarno, dan di tahun 2012 pemerintah telah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada almarhum Ir. Soekarno. Artinya, Ir. Soekarno telah dinyatakan memenuhi syarat setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara yang merupakan syarat penganugerahan gelar kepahlawanan,” ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, dikutip dari situs resmi Presiden Republik Indonesia, Senin, 7 November 2022.

Presiden Joko Widodo menegaskan sejarah dan gelar pahlawan nasional Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, Ir. Sukarno. (Foto: Tangkapan layar YouTube Sekretariat Presiden)
Jokowi menyebut kepahlawanan Sukarno telah dipertegas dengan dianulirnya Ketetapan MPRS Nomor 33/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negera dari Presiden Sukarno. Dalam Tap MPR tersebut disebutkan bahwa Sukarno melindungi tokoh-tokoh peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Tuduhan itu tak pernah terbukti hingga kini karena Sukarno tak pernah diadili.
Jokowi menyebut saat ini telah terbit Tap MPR Nomor 1/MPR/2003 yang menyatakan bahwa Tap MPRS 33/MPRS/1967 tidak berlaku lagi, dan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut.
Jokowi juga menyebut pada 1986 pemerintah telah menganugerahkan gelar Pahlawan Proklamator kepada Sukarno. Selain itu pada 2012 pemerintah juga telah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sukarno.
Presiden Prabowo Subianto yang sering meniru gaya pidato Sukarno yang berapi-api juga belakangan ikut dalam memulihkan nama baik ayah Megawati itu. Pada tanggal 30 September 2024, pimpinan MPR menyurati Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih untuk merehabilitasi nama baik Sukarno.
Menjawab surat pimpinan MPR, seperti dikutip dari Antara, Prabowo menegaskan, “Tanpa surat ini, kalau menyangkut hak-hak Bung Karno, jika saya sudah menjabat sebagai presiden nanti pasti akan saya kerjakan”.
Penulis: Dewi Yugi Arti dan Dhia Oktoriza
