KontraS Sebut 100 Hari Prabowo-Gibran Bersambungnya Kegagalan Jokowi

Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah memasuki 100 hari pertama. (Foto: Antara)
FAKTA.COM, Jakarta – Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah memasuki 100 hari pertama masa jabatan mereka. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS menyebut periode ini sebagai awal kemunduran hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi di Indonesia.
Dalam epilog yang disampaikan Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya, tahun-tahun mendatang digambarkan sebagai “the years of living dangerously” atau tahun yang berbahaya dalam hidup, sebuah istilah yang diambil dari tajuk pidato Bung Karno pada 1964 yang terkenal.
KontraS memberikan evaluasi kritis dengan judul “Impunitas dan Bersambungnya Derita Satu Dekade Kegagalan Jokowi” di kantornya, Jakarta Pusat, (20/1/2025). Catatan ini menyoroti kegagalan rezim Presiden Joko Widodo berlanjut di era Presiden Prabowo Subianto.
Pemutihan Pelanggaran HAM Berat
Pemerintahan Prabowo-Gibran dinilai gagal menunjukkan komitmen nyata dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Langkah non-yudisial yang minim akuntabilitas semakin meminggirkan korban. KontraS menyebut Presiden Prabowo Subianto masih tersandera oleh “dosa masa lalu” yang belum terselesaikan secara hukum.
“Tidak adanya komitmen eksplisit dalam dokumen politik Asta Cita mencerminkan pengabaian luar biasa terhadap upaya-upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM,” kata Dimas.
Ia juga menduga ke depannya akan muncul sejumlah tindakan untuk melakukan manipulasi penyelesaian melalui jalur non-yudisial. Langkah non-hukum ini dinilai hanya akan memberikan pemulihan yang tidak berkeadilan kepada korban dengan menghadirkan narasi-narasi publik yang tidak berpihak pada korban.
Upaya pemutihan kejahatan kemanusiaan ini ditunjukkan oleh pernyataan kontroversialnya pada akhir Oktober 2024 bahwa Peristiwa Mei 1998 bukan pelanggaran berat HAM. Yusril berpendapat bahwa kejahatan berat HAM hanya terjadi pada masa kolonial dan tidak terjadi di Indonesia belakangan.
Menurut KontraS, mekanisme seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang seharusnya menjadi alat pelengkap dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, condong digunakan hanya sebagai formalitas. Akhirnya ini memperkuat impunitas dan melemahkan prinsip keadilan yang bermartabat.
Gejala Pemerintahan Otokratis
KontraS juga menyoroti gejala otokrasi yang mulai mengemuka di bawah rezim Prabowo, seperti konsolidasi militer dalam struktur eksekutif dan absennya fungsi oposisi yang efektif. Lembaga yudikatif dan legislatif dinilai kehilangan peran sebagai penjaga mekanisme check and balances.
“Penerjunan TNI ke Tanah Papua, pembentukan Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan, dan keterlibatan militer dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) menimbulkan kecemasan akan kembalinya dominasi militer dalam kehidupan sipil," catat KontraS dalam siaran persnya.
Keterlibatan aparat keamanan dalam banyak kasus kekerasan serta promosi sejumlah perwira yang bermasalah juga menjadi perhatian KontraS karena menunjukkan lemahnya akuntabilitas institusi keamanan.
Gejala otokrasi yang muncul dalam rezim Prabowo, kata Dimas, menjadi indikasi awal dari pemerintahan yang mengabaikan nilai-nilai HAM dan demokrasi. Pemerintahan dengan corak ini menurutnya tak akan mempertimbangkan pendapat publik, mengancam kebebasan pers dan menyingkirkan suara-suara dari kampus atau kalangan akademik.
Peluang Pertemuan Megawati-Prabowo
Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad bicara potensi pertemuan Mega-Prabowo, di Jakarta, Senin (20/1/2025). (Fakta.com/Dewi Yugi Arti)
Minimnya Akuntabilitas dan Penegakan Hukum
Seratus hari Pemerintahan Prabowo-Gibran juga ditandai dengan berbagai peristiwa kekerasan yang melibatkan aparat keamanan dan terjadi tanpa penyelesaian yang adil. Hal itu dinilai KontraS sebagai wujud ketiadaan langkah konkrit pemerintah untuk membenahi budaya kekerasan yang tampak semakin mengakar dalam berbagai institusi terkait.
Menurut catatan KontraS, selama seratus hari Prabowo memimpin Indonesia, terjadi 136 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri dan 12 peristiwa serupa yang melibatkan anggota TNI.
KontraS juga melihat rendahnya akuntabilitas hukum sebagai cerminan kelanjutan impunitas yang merintangi upaya pencarian keadilan bagi korban dan keluarganya.
“Penyelesaian hukum atas berbagai kasus yang muncul dalam 100 hari pemerintahan baru sering kali tidak memadai, baik karena intervensi, hukuman yang ringan, maupun proses yang tidak transparan,” tulis KontraS.
Dalam masa singkat ini, terjadi intervensi terhadap penyelidikan Komnas HAM yang sedang mengusut kasus pembunuhan Munir Said Thalid. Dimas menyebut ada seorang anggota DPR yang melakukan ancaman untuk menghentikan penyelidikan tersebut supaya tak ada gejolak yang timbul selama masa awal Pemerintahan Prabowo.
Pemberangusan Ruang-ruang Sipil
Ruang sipil di Indonesia, menurut KontraS, semakin terancam dengan penggunaan regulasi seperti UU ITE, UU Cipta Kerja, dan UU KUHP yang akan mulai berlaku pada 2026. Instrumen-instrumen hukum ini digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat. Penggunaan buzzer di media sosial untuk menyebarkan disinformasi dan menciptakan narasi tunggal pemerintah juga menjadi perhatian utama.
“Buzzer akan digunakan sebagai upaya menciptakan distorsi informasi di masyarakat sehingga terjadi satu kekacauan proses perolehan informasi, kemudian terjadi penaklukan atau pembentukan narasi tunggal oleh pemerintah,” jelas Dimas.
Koordinator KontraS itu juga menilai kendati pemerintah saat ini tak memiliki badan penerangan seperti di zaman Soeharto, tapi ia mempunyai tumpuan yang lebih canggih lagi melalui buzzer yang dapat dipakai membuat suatu narasi yang menandingi suara masyarakat.
Inkonsistensi Diplomasi Luar Negeri
Dalam ranah diplomasi, KontraS menilai pemerintahan Prabowo-Gibran tidak esensial dan inkonsisten. Dalam isu Palestina, misalnya, Wakil Menteri Luar Negeri Anis Matta menyerukan negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk memutus hubungan ekonomi dengan Israel dalam KTT Luar Biasa OKI pada 11 November 2024.
Tapi selama Oktober-November 2024, Indonesia tercatat masih berhubungan dagang dengan negara zionis itu dengan total nilai ekspor sebesar 37,6 juta US Dollar dan nilai impor sebesar 7,5 juta US Dollar.
Isu lainnya, pemerintah pusat pimpinan Prabowo juga dikritik KontraS karena saling lempar tanggung jawab dengan Pemerintah Daerah Aceh Selatan, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Lhokseumawe terkait pengalokasian pengungsi Rohingnya yang berdatangan sepanjang Oktober 2024 hingga Januari 2025.
Dimas juga menyoroti kedangkalan politik luar negeri Indonesia yang hanya menitikberatkan pada investasi untuk program pemerintah. Ini dinilainya cuma akan menghasilkan corak pembangunan yang timpang dan tak memerhatikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Polemik Hukuman Mati
KontraS menyoroti sikap pemerintahan Prabowo-Gibran yang ambigu terkait isu hukuman mati, khususnya dalam konteks global seperti moratorium hukuman mati. Kendati mengklaim berkomitmen melindungi Warga Negara Indonesia (WNI) yang menghadapi ancaman mati di luar negeri, Indonesia kembali memilih abstain dalam pemungutan suara internasional yang digelar PBB.
Hukuman mati, menurut KontraS, itu problematik karena ia melanggar hak hidup, hak atas keadilan yang utuh. KontraS juga menjelaskan bahwa dalam banyak kasus yang dijerat hukuman mati terjadi proses rekayasa hukum, unfair trial, hingga penyiksaan. Sehingga ada pelanggaran HAM yang terjadi sebelum hukuman mati itu dijatuhkan.
Adapun, KontraS mengamati bahwa kebanyakan terpidana yang dijatuhi hukuman mati juga bukan aktor utama dari suatu kejahatan besar. Insignifikansi aktor kejahatan itu menurut KontraS membuat hukuman mati tidak signifikan dampaknya dalam memberantas kejahatan.
Pandangan Elite Dalam 100 Hari Prabowo
Di mata para elite politik, tak ada catatan kritis yang berarti mengenai seratus hari pemerintahan yang baru. Ketika KontraS berbicara mengenai isu-isu seputar HAM dan demokrasi, lingkaran terdekat Prabowo mengklaim bahwa mayoritas rakyat Indonesia merasa puas terhadap kinerja Prabowo-Gibran.
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Surya Paloh dan Wakil Ketua DPR RI seklaigus Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad. Keduanya ditemui oleh wartawan pada 20 Januari 2025 di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta.
Mengutip survei Litbang Kompas yang menunjukkan tingkat kepuasan publik sebesar 80,9%, Dasco bersyukur sembari mengimbau untuk terus bekerja keras demi menjaga angka tersebut tetap tinggi.
“Kita imbau kepada pemerintah untuk kemudian setelah 100 hari ini tidak kendor dalam mewujudkan janji-janji kampanye atau merealisasikan program-program yang dilakukan jelasng 100 hari ini,” ujar politisi partai berlogo burung garuda itu.
Surya Paloh juga mengeluarkan nada yang sama dengan Dasco. “Saya juga mengapresiasi tingkat kepuasan masyarakat yang cukup baik. Mengapresiasi keberhasilan pemerintahan Presiden Prabowo untuk waktu 100 hari masa kerjanya. Mudah-mudahan ini momentum yang harus tetap terjaga,” ujarnya.
Ketika ditanya wartawan dalam wawancara doorstop terkait pandangannya tentang penegakan hukum di bawah Presiden Prabowo selama seratus hari, Paloh menjawab secara diplomatis sambil mencoba menekan ekspektasi publik.
“Saya pikir semuanya butuh stabilitas tadi. Itu kan membawa keteduhan, optimisme. Makannya saya katakan, butuh waktu. Terlalu dini saya pikir kalau baru 100 hari,” jelasnya.
Penulis: Dhia Oktoriza Sativa