Walhi: 100 Hari Prabowo Lanjutkan Perusakan Lingkungan Era Jokowi

Kebijakan Prabowo dinilai tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan dari era Presiden Joko Widodo. (Foto: Antara)
FAKTA.COM, Jakarta – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyampaikan evaluasi kritis pada 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Kebijakan Prabowo dinilai tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan dari era Presiden Joko Widodo.
Menurut Walhi, justru kebijakan destruktif Jokowi yang berkontribusi pada kerusakan lingkungan terus dilanjutkan oleh Prabowo tanpa koreksi berarti.
Hal itu disampaikan dalam peluncuran Tinjauan Lingkungan Hidup (TLH) 2025 yang digelar oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Kekini, Cikini, Jakarta Pusat (16/1/2025).
“Lalu kenapa kita mengatakan 100 Hari Prabowo itu melanjutkan perusakan lingkungan? Karena kalau kita lihat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Jokowi yang berkontribusi terhadap perusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup rakyat itu belum ada sama sekali yang dikoreksi,” kata Kepala Divisi Public Engagement WALHI, Adam Kurniawan.
Proyek Strategis Nasional dan Bencana Lingkungan
Dalam paparannya, Adam mengatakan banyaknya Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dijalankan selama era Jokowi telah menyebabkan bencana yang signifikan. Data yang digunakan Walhi berasal dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Selama satu dekade pemerintahan Jokowi, tercatat 38.596 kasus bencana yang menewaskan 11.417 orang, dengan 370 jiwa dinyatakan hilang. Selain itu, 34 ribu orang mengalami luka-luka dan lebih dari 60 juta orang terdampak atau mengungsi akibat bencana tersebut.
Adam mengatakan lokasi-lokasi proyek strategis nasional sering kali menjadi pusat peningkatan intensitas dan skala bencana.
“Banjir di Morowali meningkat selama IMIP (Indonesia Morowali Industrial Park) ada. Kemudian di Maluku Utara, di Halmahera Tengah, lokasi-lokasi tambang yang diproses nikelnya oleh PT Weda itu juga terjadi beberapa kali bencana yang skalanya sangat besar (yang) tidak pernah terjadi sebelumnya. Lebih dari enam desa terendam banjir secara bersamaan akibat keberadaan tambang.” jelas Adam.

Smelter nikel di Konawe, Sulawesi Tenggara. (Foto: Antara)
Proyek strategis nasional, terutama di sektor hilirisasi nikel, pembangunan bendungan, dan tambang, dinilai menjadi penyebab utama meningkatnya risiko bencana. Adam mengungkapkan bahwa mayoritas proyek PSN tidak disertai dengan dokumen analisis risiko bencana yang memadai.
Hal ini menyebabkan pemerintah tidak memiliki acuan yang jelas untuk menilai sejauh mana proyek-proyek tersebut memengaruhi peningkatan potensi bencana.
Food Estate: Proyek Gagal yang Dilanjutkan
Selain PSN, Walhi juga menyoroti proyek food estate yang dianggap gagal di era Jokowi namun tetap dilanjutkan oleh Prabowo.
Proyek ini, yang awalnya dirancang untuk menciptakan ketahanan pangan, terbukti tidak efektif, bahkan diwarnai dengan kegagalan berulang sejak era pemerintahan sebelumnya.
“Food Estate, proyek yang nyata-nyata gagal di Kalimantan Tengah dan di Merauke pada saat menjadi MIFE (Merauke Integrated Food Estate), bahkan kalau kita tarik ke belakang, kebijakan serupa (yang) menggantungkan pangan pada pola perkebunan monokultur skala besar itu juga gagal, hanya berhasil sebentar di era Soeharto yang hanya dua tahun bertahan,” ujar Adam.
Proyek ketahanan pangan yang menurut Adam menuai krisis di mana-mana, dilanjutkan oleh para penerus Presiden ke-2 RI Soeharto, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Jokowi.
“Sekarang Prabowo tetap melanjutkannya, malah memperluas skalanya. Itu berarti Prabowo melanjutkan kebijakan yang terbukti membawa bencana. Itu logika yang kita tarik sehingga kita berani menyimpulkan bahwa 100 Hari Prabowo ini hanyalah melanjutkan perusakan lingkungan yang terjadi di era Jokowi,” ujarnya.

Pagar Laut dan Reklamasi
Belakangan ini, muncul polemik pagar laut bambu di pesisir Kabupaten Tangerang. Deputi Eksternal Walhi Mukti Friyana menduga proyek ini bukan kebetulan, tapi hasil perencanaan sistematis yang melibatkan pemerintah dan pihak swasta. Ia juga mengungkap bahwa reklamasi di wilayah tersebut berpotensi terus berlanjut jika tidak mendapat perhatian media.
“Intinya, itu by design karena rujukan pertamanya adalah Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tangerang,” ujar Mukri. “Di pasal 2, disebutkan luas Kabupaten Tangerang 95.900 hektar. Kalau ditambah dengan reklamasi, jadi 103.000 hektar. Barang yang belum ada sudah dimasukkan.”
Mukri menyoroti bahwa reklamasi di Kabupaten Tangerang diatur dalam sejumlah dokumen perencanaan, termasuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Tangerang 2025-2045, yang mencanangkan Pantai Utara (Pantura) sebagai “Kota Baru” melalui strategi reklamasi. Namun, ia mempertanyakan urgensi dan alokasi reklamasi ini.
“Kecukupan ruang terbuka hijaunya (Kab. Tangerang) hanya 13 hektar, artinya (hanya) 0,01 persen. Itu jelas-jelas diamanahkan oleh Undang-Undang Tata Ruang nggak dijalanin. Tapi (reklamasi) yang nggak ada kepentingan rakyatnya kok bisa diagendain?,” tegas Mukri.
Ia juga mengungkapkan bahwa nilai investasi dari proyek reklamasi mencapai Rp20 triliun, melibatkan sejumlah investor besar yang disebut-sebut memiliki kekuatan dan pengaruh besar di kawasan tersebut.
Motif Bisnis dan Penjualan Laut Bangsa
Mukri menyebut bahwa proyek pagar laut bambu hanyalah permukaan dari agenda yang lebih besar, yaitu reklamasi untuk kepentingan bisnis. Ia menegaskan bahwa praktik ini merupakan bentuk memperjualbelikan laut bangsa Indonesia.
“Ini membangun sesuatu yang bukan karena kepentingan rakyat, tapi karena kepentingan pemodal. Coba periksa, mana ada pemerintah yang serius bicara soal ini?” ujar Mukri dengan nada tegas.
Ia juga mengingatkan bahwa tahun 2025 akan menjadi momentum penting untuk meninjau ulang semua perizinan tata ruang. Mukri menyerukan kepada DPR dan pemerintah untuk segera mencabut peraturan dan kebijakan yang menjadi dasar praktik reklamasi ini.

Petugas KKP menyegel kegiatan pemagaran laut di perairan Tangerang, Banten. (Foto: Antara)
Mukri mengungkapkan bahwa praktik serupa tidak hanya terjadi di Kabupaten Tangerang, tetapi juga di daerah lain seperti Bekasi dan Pulau Tunda di Banten. Ia menduga bahwa model serupa, termasuk penggunaan pagar bambu, akan menyebar ke wilayah lain.
“Mungkin baru di daerah Jawa, khususnya Banten, yang menggunakan model bambu. Bisa jadi di tempat lain akan terjadi hal serupa,” katanya.
Mukri menutup dengan peringatan keras, “Sepanjang itu tidak dicabut, jalan ini barang. Motifnya bisnis, ngejual laut bangsa Indonesia.”
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid berkomentar terkait lokasi pemagaran laut yang diduga merupakan struktur awal pembangunan reklamasi. Menurutnya, reklamasi itu hingga kini belum terjadi.
Karena itu, kata Nusron, kementeriannya belum mengambil tindakan apa pun terkait keberadaan pagar laut tersebut. Dia pun berdalih permasalahan pagar laut tersebut belum menjadi ranahnya selama reklamasi belum dilaksanakan.
"Itu kan nanti kalau belum kejadian, ya. Kalau sudah kejadian itu baru ke sini, kan belum kejadian," ucapnya saat ditemui di Kantor ATR/BPN, Jakarta Selatan, usai pertemuan dengan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai, Rabu (15/1/2025).
Prediksi Lingkungan Hidup Indonesia 2025
Kondisi lingkungan hidup Indonesia tahun ini diperkirakan lebih buruk dibandingkan 2024. Walhi mencatat, deforestasi akan semakin meluas, konflik agraria semakin meruncing, serta kasus kriminalisasi dan kejahatan lingkungan hidup berpotensi meningkat. Prediksi ini disusun berdasarkan tiga faktor utama.
Pertama, fakta krisis ekologi yang terjadi sepanjang pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam presentasi WALHI mencatat bahwa Indonesia telah kehilangan 290 ribu hektar hutan primer pada 2023, menjadikannya salah satu negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia.
Proyek Food Estate telah menjadi penyumbang besar penggundulan hutan dengan 1,3 juta hektar di Papua dan 630 ribu hektar di Kalimantan Tengah (Kalteng). WALHI menyebut bahwa proyek ini gagal memenuhi tujuan ketahanan pangan, malah menghasilkan konflik agraria dan penggusuran masyarakat adat. Proyek ini direncanakan terus meluas hingga dua juta hektar di Papua dan 770 ribu di Kalteng.
Walhi juga mencatat ada 346 konflik agraria dengan luas wilayah 638 ribu hektar, melibatkan 135 ribu keluarga. Peningkatan konflik ini menurut Walhi diakibatkan oleh UU Cipta Kerja yang mempermudah alih fungsi lahan untuk investasi.
Tambang di kawasan pesisir, dalam catatan Walhi, mengancam 35 ribu keluarga nelayan, membuat 3.197 desa pesisir tercemar limbang tambang. Sedangkan 55 pulau kecil telah dikapling untuk tambang mineral dan batu bara, merusak ekosistem laut dan kehidupan masyarakat adat, menurut Walhi dalam TLH 2025.
Faktor kedua adalah kebijakan yang dinilai melemahkan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup. Walhi menyoroti peran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kemudian diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2023. UU ini, menurut Walhi, telah mengerdilkan partisipasi publik dan melemahkan instrumen pengendalian kerusakan serta pencemaran lingkungan.
Undang-undang ini, kata Mukri, menjadi cikal bakal keluarnya berbagai peraturan pemerintah yang mendukung proyek strategis nasional. Salah satunya adalah PP Nomor 26 Tahun 2024 tentang sedimentasi laut dan PP Nomor 42 Tahun 2022 yang memberikan kemudahan bagi pembangunan proyek-proyek prioritas.
Faktor ketiga adalah alokasi anggaran untuk fungsi pelestarian dan penyelamatan lingkungan hidup pada APBN 2025 yang lebih rendah dibandingkan 2024. Pengurangan anggaran ini dinilai sebagai sinyal lemahnya prioritas pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan.
“Demikian juga dengan tata ruang. Apa pasalnya? Kalau terkait dua project ini yang namanya strategis dan prioritas, kalaupun anda bermasalah misalnya dengan tata ruang, mainkan! Kira-kira begitu, yang penting nanti keluar diskresi, ada rekomendasi dari menteri, dianggap selesai. Ini titik puncaknya terkait dengan kebijakan,” tambah Mukri.
Atas setumpuk persoalan ini, Walhi mendesak pemerintah dan DPR untuk mengevaluasi kebijakan yang merugikan lingkungan serta meningkatkan komitmen dalam menyelamatkan ekosistem yang tersisa.
Penulis: Dhia Oktoriza Sativa