Nasib Parliamentary Threshold Usai Presidential Threshold Dihapus

Terbuka kemungkinan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dapat dihapus. (ANTARA/Melalusa Susthira K)
FAKTA.COM, Jakarta - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra, Ahmad Muzani, menanggapi pernyataan Kemenko Kumham Imipas, Yusril Ihza Mahendra, yang mengatakan terbuka kemungkinan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dapat dihapus.
Menurut Muzani, Yusril berkata seperti itu karena melihat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus sistem presidential threshold 20 persen.
"Prof Yusril memang mengatakan bahwa kalau presidential threshold saja bisa dihapus, maka kemungkinan parliamentary threshold dihapus, ada kemungkinan," kata Muzani saat ditemui awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (15/1/2025).
Namun, kata Muzani, hingga sekarang parliamentary threshold masih berada di angka empat persen. Ia pun menekankan DPR masih berpegang teguh pada aturan tersebut dan belum memiliki rencana untuk mengubahnya.
"Kami berharap apa yang sekarang sudah kita putuskan, yakni parliamentary threshold empat persen, sudah. Jadi jangan ubah-ubah ubah-ubah nanti malah membingungkan," tuturnya.
Ketika ditanya apakah pesan untuk tidak mengubah ambang batas parliamentary threshold ini sudah disampaikan kepada Komisi II DPR, Ketua MPR RI itu menjawab DPR akan tetap mengikuti aturan formal yang sedang berlaku saat ini.
"Kalau dari sisi parlemen DPR saya rasa ya tetap akan membicarakan apa yang sekarang berlaku, yakni empat persen," pungkasnya.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra, Ahmad Muzani. (Fakta.com/Dewi Yugi)
Aturan perihal parliamentary threshold empat persen termaktub dalam Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR”.
Revisi UU Pemilu Masuk Prolegnas Prioritas
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Bahtra Banong, mengatakan pihaknya belum melakukan pembahasan untuk menindaklanjuti penghapusan presidential threshold. Sebab, saat ini DPR masih dalam masa reses.
"Kami berharap agar publik bersabar, sebab DPR masih reses. InsyaAllah setelah masa reses selesai, kami akan membahas lebih lanjut di Komisi II," ucap Bahtra dalam pesan WhatsApp yang dikirimkan kepada FAKTA, Kamis (9/1/2025).
Politisi Partai Gerindra itu berjanji bahwa Fraksi Gerindra akan mendampingi proses revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), serta menata ulang sistem kepemiluan di Indonesia untuk persiapan Pemilu 2029 mendatang.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin mengatakan DPR sudah menyetujui perihal revisi Undang-Undang Pemilu untuk masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
“Komisi II sudah mengajukan ke pimpinan DPR, mudah-mudahan pimpinan DPR setuju," jelas politisi Partai Golkar tersebut dalam wawancara telepon bersama FAKTA, Kamis (9/1/2025).
Lebih lanjut, Zulfikar menyebut delapan fraksi yang ada di Komisi II DPR sudah sepakat untuk mempercepat revisi Undang-Undang Pemilu. Dia berharap stakeholder, terutama partai politik, bisa lebih siap dari awal menuju Pemilu 2029. Selain itu agar penyelenggara pemilu juga lebih leluasa menyiapkan pelaksanaan setiap tahapan.
Zulfikar menambahkan, rekayasa konstitusi yang akan diadopsi oleh DPR dalam revisi Undang-Undang Pemilu akan lebih menekankan pada penyaringan partai politik peserta Pemilu yang akan mengajukan calon presiden dan/atau wakil presiden pada Pemilu 2029.
Dia mengatakan terbuka kemungkinan DPR akan tetap mempertahankan parliamentary threshold empat persen sebagaimana yang sudah diamanatkan dalam konstitusi.
"Masalahnya kalau MK kan bilangnya enggak begitu (parliamentary threshold dihapus),” kata Zulfikar.
Adapun Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945 yang ia maksud berbunyi, "(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum."

Siasati Banyak Calon
Pakar hukum tata negara dari Universitas Airlangga (UNAIR), Rosa Ristawati, mengatakan rekayasa konstitusi yang dibentuk oleh DPR untuk menyiasati pengganti presidential threshold dapat dilakukan dengan membuat aturan mengenai rekrutmen internal partai politik yang lebih berkualitas. Hal ini dilakukan agar jumlah calon yang diajukan oleh partai politik peserta pemilu tidak membludak.
Namun, Rosa menilai pembentuk undang-undang juga perlu mengatur mengenai batasan koalisi partai politik agar tidak menjadi koalisi yang dominan. Hal ini untuk mencegah hanya ada satu pasangan atau terbatasnya jumlah pasangan yang mungkin justru akan berpotensi pada kebuntuan demokrasi. Misalnya, dengan diadakannya mekanisme internal partai politik berupa mekanisme konvensi.
"Tentunya partai politik harus juga harus berbenah secara internal dalam halnya dengan mekanisme perekrutan calon Presiden dan Wapres untuk menjamin figur-figur calon berkualitas,” kata Rosa dalam pesan WhatsApp yang dikirimkan kepada FAKTA, Kamis (9/1/2025).
Menurutnya, parpol harus segera menyusun peraturan internal dengan membuat desain mekanisme perekrutan calon presiden dan Wapres secara transparan kepada rakyat. Pembentuk undang-undang, kata dia, juga harus memastikan aturan baru yang menjamin semua parpol peserta pemilu terpenuhi hak konstitusionalnya untuk mengusung calon Presiden dan Wapres.
Dia berpendapat, semua parpol harus segera menyiapkan mekanisme internal partai politik untuk memfasilitasi transparansi, akuntabilitas yang mengakomodasi suara rakyat dan memastikan figur-figur berkualitas melalui mekanisme internal parpolnya.
Rosa menambahkan, DPR sebagai pembentuk undang-undang juga perlu melibatkan partisipasi masyarakat, organisasi nonpemerintah, akademisi, partai politik minoritas, serta seluruh pihak sebagai wujud dari kedaulatan rakyat dalam merevisi Undang-Undang Pemilu tersebut.