2 Prediksi Pengganti Presidential Threshold: Apa Adanya atau Tak Patuh MK

Ilustrasi. Simak sejumlah alternatif pencalonan presiden tanpa ambang batas kata para ahli.
FAKTA.COM, Jakarta - DPR diprediksi tak akan membuat aturan khusus sebagai pengganti ambang batas presiden (presidential threshold) yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) atau diduga malah bakal tak mematuhi putusan tersebut. Simak prediksi menarik para pakar berikut.
Dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024, MK menyatakan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) bertentangan dengan konstitusi.
Pertimbangannya adalah pembatasan hak konstitusional pemilih, jumlah calon presiden dan wakil presiden, serta rekayasa konstitusional.
MK juga mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini dilakukan didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam hal pengusulan pasangan calon. Ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih dalam mendapatkan alternatif yang memadai.
Selain itu, MK juga menilai bahwa terjadi kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat dua pasangan calon. MK menyebut ini memicu masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam kebhinekaan Indonesia, bahkan bisa mendorong calon tunggal.
Namun, MK pun mempertimbangkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden sama dengan jumlah partai politik peserta pemilu agar tidak terlalu membludak.
Mahkamah menilai pembentuk undang-undang dapat mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak. Bentuknya, rekayasa konstitusional (constitutional engineering) dengan persyaratan sebagai berikut:
1. Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
2. Pengusulan paslon tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
4. Partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang tidak menyebabkan dominasi yang menyebabkan keterbatasan pilihan pemilih.
4. Parpol yang tidak mengusulkan paslon disanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
5. Perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

MK memutus ambang batas presiden inkonstitusional. (Fakta.com/Hendri Agung)
Bagaimana realisasinya di RUU Pemilu?
Anggota Komisi II DPR Romy Soekarno mengakui pihaknya belum menggodok mekanisme rekayasa konstitusi yang direncanakan di Revisi Undang-Undang Pemilu nanti.
"Belum bisa jawab karena kita Komisi II belum ada rapat RDP (Rapat Dengar Pendapat)-nya. Nanti ya kalau udah ada tanggapan resmi dari kita Komisi II," kata politikus dari Fraksi PDIP itu dalam pesan tertulis yang dikirimkan kepada FAKTA, Rabu (8/1/2025) siang.
Senada, Anggota Komisi II DPR yang lain dari Fraksi Partai Golkar, Zulfikar Arse Sadikin belum memberikan konsep praktis pengganti presidential threshold itu.
"Sebagai pembentuk UU (Undang-Undang, Red), bila ada norma dalam UU dinyatakan inkonstitusional oleh MK, kita hormat, bahkan patuh dan siap menyesuaikan dengan putusan MK tersebut," ungkap dia, dalam pesan tertulis kepada FAKTA.
Putaran kedua
Ahli hukum Pemilu dari Unair Syaiful Aris memprediksi DPR tidak akan membentuk mekanisme apa pun untuk menggantikan presidential threshold. Artinya, pasal yang dihapus MK tak bakal ada gantinya.
Namun, kata dia, calon Presiden dan Wakil Presiden yang membludak akan terseleksi secara alami lewat mekanisme putaran kedua Pilpres.
Dalam UU Pemilu, capres-cawapres terpilih harus mendapatkan suara 50 persen plus 1 dan sedikitnya 20 persen di setiap provinsi, serta unggul di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
"Nah dari situ sebetulnya tidak perlu khawatir nanti calonnya banyak, sebab akan ada proses putaran kedua," kata dia lewat telepon kepada FAKTA, Rabu (8/1/2025) sore.
"Putaran kedua itu kan kalau sampai tidak ada calon yang bisa mencapai 50 persen lebih dan syarat persebaran kan nanti akan mengerucut hanya menjadi 2 calon Presiden dan Wakil Presiden, sehingga secara alami seleksinya di situ," terang Aris.
Menurutnya, ketentuan ini sejalan dengan kondisi geografis Indonesia yang luas dan menyebar. Berbeda dengan negara-negara yang menganut model mayoritas sederhana seperti Republik Dominika, Meksiko, Panama, Paraguay, dan Venezuela.

Infografis dugaan nepotisme Jokowi di Pemilu. (Fakta.com)
"Sehingga, seharusnya presidential threshold dimaknai sebagai syarat keterpilihan Presiden dan Wakil Presiden, bukan syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden," ucap Aris.
Sementara itu, pakar hukum Pemilu dari Universitas Airlangga (Unair) Haidar Adam mengatakan membludaknya pasangan capres-cawapres itu akan memicu kesulitan dalam pelaksanaan pemilu.
Contohnya, KPU harus mendesain kartu suara sedemikian rupa sehingga para calon dapat dikenali oleh pemilih. Dari sisi pemilih, kelompok usia tertentu atau level pendidikan tertentu akan kesulitan untuk memilah-milah kandidat yang amat banyak itu.
"Enggak ada pilihan bingung, terlalu banyak pilihan bisa jadi juga tidak efektif. Katakanlah partai politik itu yang lulus verifikasi 40 partai dan masing-masing partai ini mengusung calonnya, akan ada 40 kandidat Presiden dan Wakil Presiden," cetus Adam.
Peluang tidak patuh
Adam membuka kemungkinan DPR tak mematuhi putusan MK. Ini terkait pandangan soal intervensi hukm (judicial encroachment) dari yudikatif terhadap kewenangan legislatif dan eksekutif untuk membentuk UU.
"Nah ini nanti bisa jadi kayak DPR dan pemerintah membuat undang-undang yang substansinya juga bertentangan dengan keputusan MK ini," tutur dia, dalam wawancara telepon dengan FAKTA, Rabu (8/1/2024) siang.
Ia menyebut putusan MK memang bersifat final and binding, mengikat dan berkekuatan hukum tetap. Namun, putusan MK dalam konteks tertentu "tidak bisa memiliki daya gerak."
"Faktanya tidak selalu demikian. Misalkan dalam konteks beberapa hal, keputusan dari MK itu bisa disimpangi oleh lembaga negara yang lain," sambung Adam.
Contohnya, Mahkamah Agung yang membuat Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2023 tentang aturan bahwa Peninjauan Kembali (PK) tidak dapat diajukan berkali-kali. Padahal, MK sebelumnya memutuskan dalam Putusan Nomor 34/PUU-XI/2023 bahwa PK dapat diajukan berkali-kali.
Terlepas dari itu, Haidar Adam menilai pembatasan pencalonan capres-cewapres masih ada dalam bentuk ambang batas parlemen (parliamentary threshold).
"Saya kira parliamentary threshold itu kan masih ada mekanisme itu, sehingga membatasi juga jumlah partai politik yang akan bisa berkontestasi di dalam Pemilu," ujarnya.
Parliamentary threshold ini ada pada Pasal 414 UU Pemilu. Bahwa, partai politik peserta pemilu harus mencapai minimal 4 persen suara sah secara nasional untuk bisa dapat kursi di DPR.
"Berarti kan pilihan atau kemudian potensi peluang mereka untuk mencalonkan kandidat itu juga menjadi berkurang," ujar dia.
Masalahnya, berdasarkan data yang dihimpun FAKTA, Mahkamah memiliki Putusan MK No. 116/PUU-XXI/2023 yang mengabulkan sebagian gugatan terkait ambang batas parlemen. Intinya, MK meminta batas ini diubah sebelum Pemilu 2029.
Memang, ambang batas ini masih berlaku di 2024. MK meminta perubahan untuk pemilu-pemilu berikutnya. Syarat angkanya adalah berkelanjutan, menjaga proporsionalitas sistem pemilu, hingga tetap berprinsip penyederhanaan partai. Ketentuan ini pun hingga kini belum dirumuskan oleh DPR di revisi UU Pemilu.
PR besar parlemen yang harus tuntas sebelum 2029 pun bertumpuk: ambang batas parlemen dan ambang batas presiden.