Fakta.com

Pengamat: Grey Area PDIP Biasa Terjadi di Sistem Presidensial Multipartai

Presiden Prabowo Subianto berfoto selfie dengan Puan Maharani. (fakta.com)

Presiden Prabowo Subianto berfoto selfie dengan Puan Maharani. (fakta.com)

Google News Image

FAKTA.COM, Jakarta - Pengamat politik Unpad Firman Manan mengatakan, ambiguitas posisi PDIP dalam kabinet terjadi karena sistem presidensial membutuhkan koalisi hanya untuk mendapatkan dukungan dari lembaga legislatif.

"Kebutuhan koalisi dalam sistem presidensial itu bukan membangun pemerintahan, tapi mendapatkan dukungan dari lembaga legislatif dalam hal ini DPR," kata Firman Manan saat dihubungi fakta, Minggu (20/10/2024).

Menurut Firman, sangat memungkinkan PDIP bukan oposisi tapi tidak bergabung dalam koalisi. Sebab, kata Firman, susunan kabinet hak prerogatif presiden.

"Kalaupun presiden hanya mau memberikan kursi-kursi kabinet kepada Partai Gerindra, bisa-bisa saja," kata Firman.

Firman mengatakan, sistem presidensial berbeda dengan parlementer di mana koalisi dibentuk untuk membentuk pemerintahan.

"Gerindra sebagai partai pemenang itu kan cuma menguasai kursi DPR kurang lebih 13 persen," kata Firman.

Sementara nanti, kata dia, pemerintah harus mengajukan rancangan undang-undang yang terkait dengan program-program presiden terpilih untuk disetujui DPR.

"Nah kalau tidak ada koalisi yang punya suara mayoritas di DPR kan bisa jadi problem, bagaimana kemudian ada dukungan mayoritas ya dari DPR," kata Firman.

PDIP sebagai partai pemenang dan suara mayoritas di DPR telah memenuhi syarat minimum winning coalition (50% + 1).

Sehingga, kata Firman, sikap PDIP mendukung pemerintahan Prabowo akan menjadi win-win solution bagi pemerintahan Prabowo ke depannya.

"Ada partai-partai yang mendukung pemerintahan di DPR, memberikan dukungan lewat DPR, tapi tidak harus masuk ke kabinet. Jadi itu sesuatu yang sangat mungkin dalam konteks sistem presidensial multipartai," kata Firman.

Sistem presidensial multipartai, jelas Firman, biasanya tidak terdapat koalisi yang permanen. Firman menyebut kondisi ini dinamakan semi-permanent coalition atau ad-hoc.

"Kalau dalam sistem presidensial multipartai, mungkin saja ada partai-partai yang dia bergabung di koalisi, tapi pada agenda kebijakan tertentu, dia tidak mendukung agenda kebijakan pemerintah," kata Firman.

Firman memberikan contoh pada masa Presiden SBY, ketika hendak menaikkan harga BBM, ada beberapa partai dalam koalisi pemerintah tidak setuju. Firman menerangkan pola checks and balances PDIP dengan kabinet Prabowo bisa jadi seperti itu. 

"Kalau saya melihat pola NasDem dan PDIP itu menyatakan mendukung pemerintahan tapi tidak masuk ke dalam kabinet, mungkin akan menjalankan posisi seperti itu," kata Firman.

Lebih lanjut Firman mengatakan, PDIP dan NasDem dalam posisi berseberangan sebagai oposisi.

"Namun, mereka tidak punya beban ketika nanti ada hal-hal yang mereka anggap perlu dikontrol, perlu diawasi, perlu diimbangi, agenda kebijakan yang tidak harus selalu mereka setujui, karena mereka tidak menempatkan anggotanya di kabinet," ucap dosen Unpad tersebut.

Menurut Firman, kondisi ini disebut sebagai presidential coalitional. Praktik tersebut lazim dilakukan di negara-negara Amerika Latin misalnya Brazil dan Chili yang sama-sama menganut sistem multipartai.

Trending