Bagi-bagi Kursi Komisaris BUMN, Pengamat: Tak Masalah Selama Bukan Nepotisme

Ilustrasi: Putut Pramudiko/fakta.com

FAKTA.COM, Jakarta – Bagi-bagi kursi komisaris BUMN untuk tim pemenangan setelah berakhirnya Pemilihan Presiden (Pilpres) kembali terjadi.

Banyak tokoh dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran yang mendapatkan kursi komisaris BUMN, misalnya politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie Grace Natalie dan kader Partai Gerindra Fuad Bawazier.

Menanggapi fenomena bagi-bagi jabatan tersebut, pengamat politik Ray Rangkuti mengatakan hal itu merupakan hal biasa yang tidak bisa dihindari.

“Dalam politik itu biasa-biasa saja, cuma memang harus dilihat kadar dan kapasitasnya. Apakah layak dan patut untuk ditempatkan di sana,” kata Ray, saat dihubungi fakta, Selasa (18/6/2024).

Menurut Ray, politik balas budi biasa terjadi dan boleh-boleh saja dilakukan, karena jabatan yang diberikan merupakan ‘hadiah’ atas hasil dari kerja keras TKN selama Pilpres.

Komisaris BUMN dalam Balutan Politisi

Hal ini juga menunjukkan bahwa kemenangan Prabowo-Gibran didapatkan dari hasil kerja tim, bukan hasil kerja individu Prabowo dan Gibran saja.

“Persoalannya apakah mereka yang diberi jabatan di BUMN itu ditempatkan secara layak dan patut dengan mempertimbangkan profesionalisme atau tidak,” ujar Ray.

Selain profesionalisme, Ray menekankan pembagian kursi jabatan ini juga perlu mempertimbangkan prinsip akuntabilitas dan kepantasan.

Terkait dengan kemungkinan rangkap jabatan, Ray mengatakan tidak masalah selama tidak ada aturan yang dilanggar. 

“Rangkap jabatan itu kan soal aturan. Misalnya anggota DPR jadi komisaris BUMN, ya itu tidak boleh. Selama tidak ada larangannya soal rangkap jabatan tertentu ya sah-sah saja dilakukan,” ucap Ray.

Tim Pemenangan Prabowo-Gibran Isi Komisaris MIND ID, Ada Eks Menkeu dan Grace Natalie

Meskipun demikian, Ray mengkritisi pembagian kursi jabatan BUMN kepada dua keponakan Jokowi, Bagaskara Ikhlasulla Arif dan Joko Priyambodo, karena termasuk ke dalam nepotisme.

“Kalau soal keponakan Jokowi ini merupakan nepotisme, politik kekerabatan. Nah ini yang jadi masalah. Jelas bedanya kan dengan yang tadi,” tutur Ray.

Politik kekerabatan, sambung Ray, erat dengan hubungan darah. Hal ini membuat pemberian jabatan tidak lagi sekadar hitung-hitungan profesional dan kelayakan, tetapi berdasarkan hubungan darah.

Sebagai penutup, Ray menegaskan sebaiknya bagi-bagi jabatan, utamanya jabatan publik, harus melalui mekanisme yang patut dan diuji secara publik.

“Karena jabatan di BUMN ini jabatan publik, jadi memang seharusnya melalui mekanisme uji publik di mana publik dapat dilibatkan untuk menyeleksi calon secara langsung,” tukasnya.

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Place your ads here
Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//