FAKTA.COM, Jakarta – Kejahatan di sektor keuangan dan pasar modal masih menjadi sorotan. Terutama dengan beberapa kasus besar yang menunjukkan buruknya tata kelola keuangan.
Pengamat pasar modal sekaligus Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Budi Frensidy mengungkapkan kasus-kasus ini, termasuk Garuda Indonesia, Jiwasraya, dan ASABRI dalam webinar Membongkar Kejahatan Korporasi di Sektor Keuangan, Selasa (23/7/2024).
Budi mengungkapkan Garuda Indonesia tahun 2019 terlibat dalam penggelembungan pendapatan di Q4 untuk menutupi kerugian besar di Q3 dengan mencatat transaksi yang seharusnya diterima di Q1-Q2 tahun berikutnya. Akibatnya, aset yang sebenarnya hanya Rp10 miliar tampak menjadi triliunan rupiah.
Kasus selanjutnya, Jiwasraya tahun 2019 mencatat kerugian Rp24 triliun akibat laba semu yang diciptakan melalui praktik windows dressing sejak 2006. Kasus ini melibatkan kolusi dengan emiten dan sekuritas serta buruknya tata kelola perusahaan. Pelaku utamanya adalah oknum yang mengatur pelaporan keuangan untuk memungkinkan IPO perusahaan.
Kasus ASABRI di tahun 2021 juga mengalami kerugian Rp22,8 triliun karena pengelolaan dana yang tidak sesuai ketentuan, yang melibatkan kolusi dengan emiten untuk mengatur pembelian saham tertentu yang direkayasa untuk masuk ke LQ45.
Kesamaan antara kasus Jiwasraya dan ASABRI adalah melibatkan banyak institusi keuangan dengan pengaturan sistematis untuk menyiapkan saham yang akan dibeli dan rekayasa saham untuk memenuhi kriteria LQ45.
"Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa kejahatan korporasi di sektor keuangan banyak terlibat dalam pelaporan keuangan atau financial shenanigans," tutur Budi.
Untuk mitigasi, direksi dan komisaris perlu memperhatikan financial shenanigans. Faktor terjadinya kasus di atas karena mudah dilakukan, mendapat payoff besar, dan keyakinan tidak akan terkuak.
“Saran untuk OJK dan SRO agar tidak mudah meloloskan perusahaan untuk IPO,” tutup Budi.
Selain kejahatan korporasi, perusahaan-perusahaan yang baru IPO juga sempat menjadi sorotan para investor. Pasalnya, beberapa perusahaan tidak punya performa keuangan yang baik sehingga pergerakan sahamnya terus menurun.
Merespons hal itu, Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna pernah menyampaikan, pihaknya melakukan instrospeksi dan refleksi atas apa yang sudah dicapai dan feedback dari market.
"Memang ada saja perusahaan-perusahaan yang mengalami permasalahan setelah sahamnya tercatat. Untuk itu, kami lakukan perbaikan dan dipikirkan secara holistik dan komprehensif," ujar Nyoman.