AS Patok Tarif 3.521 Persen untuk Panel Surya dari 4 Negara ASEAN

Ilustrasi
FAKTA.COM, Jakarta - Amerika Serikat menetapkan bea masuk baru setinggi 3.521% untuk impor solar panel dari empat negara Asia Tenggara, yakni Kamboja, Vietnam, Malaysia, dan Thailand.
Bea masuk yang diumumkan pada Senin (21/4/2025) itu merupakan hasil dari penyelidikan perdagangan selama setahun. Hasilnya, ditemukan bahwa produsen solar di empat negara itu dinilai sudah melakukan perdagangan tidak adil.
Penyelidikan tersebut diminta oleh produsen solar dalam negeri AS yang dimulai sejak Presiden Joe Biden, tahun lalu. Hasil penyelidikan menyebutkan mereka mendapatkan keuntungan dari subsidi pemerintah dan menjual panel Surya ke AS dengan harga yang lebih rendah dari perusahaan AS. Bahkan, harga yang ditetapkan lebih rendah dari biaya produksinya.
Keputusan tersebut dianggap sebagai sebuah kemenangan bagi manufaktur dalam negeri yang telah diupayakan di zaman Biden dan Trump.
"Ini adalah kemenangan yang menentukan bagi manufaktur Amerika," kata Tim Brightbill, wakil ketua praktik perdagangan internasional Wiley dan penasihat hukum utama untuk koalisi perusahaan surya yang menangani kasus tersebut.
Selain itu, diketahui juga bahwa sebagian besar perusahaan pembuat solar panel di Asia Tenggara merupakan cabang dari perusahaan Tiongkok.
Temuan tersebut mengonfirmasi "apa yang telah lama kita ketahui: bahwa perusahaan surya yang berkantor pusat di Tiongkok telah menipu sistem, melemahkan perusahaan-perusahaan AS, dan merugikan mata pencaharian pekerja Amerika," kata Brightbill.
Donald Trump dikabarkan tengah mempertimbangkan pembatasan penggunaan mesin AI asal Tiongkok, DeepSeek, di AS. Langkah ini disebut bagian dari perang dagang dan dominasi AI. Namun, rencana batasi chip Nvidia ke China dibatalkan usai CEO-nya janji investasi besar di AS.#Trump… pic.twitter.com/c3tmEP4XVQ
— Faktacom (@Faktacom_) April 19, 2025
Bea masuk serupa dikenakan pada impor solar panel dari Tiongkok sekitar 12 tahun yang lalu. Namun, produsen Tiongkok menanggapinya dengan mendirikan operasi di negara lain yang tidak terpengaruh oleh tarif tersebut.
Banyak perusahaan China memindahkan sebagian kapasitas manufakturnya ke negara-negara bebas bea seperti Indonesia dan Laos. Negara-negara itu, termasuk India, dapat menjadi sasaran putaran bea baru yang mungkin diberlakukan akhir tahun ini.
Indonesia diperkirakan akan memiliki lebih dari 20 gigawatt kapasitas produksi tenaga surya milik asing pada pertengahan tahun ini, dari hanya 1 gigawatt pada akhir tahun 2022, menurut BloombergNEF.
Pembuat tenaga surya Tiongkok JA Solar mengatakan kepada Bloomberg News bahwa mereka terus memantau perkembangan tarif AS sekaligus mempercepat upaya globalisasinya. Ini termasuk mendirikan pabrik manufaktur di Oman yang akan mulai beroperasi pada akhir tahun 2025 dengan sel 6 gigawatt dan kapasitas modul 3 gigawatt.
China telah menghentikan total impor sapi dari Amerika Serikat setelah ketegangan tarif produk impor dan permintaan perbaruan izin ekspor. Penghentian ini berpotensi menghilangkan pasar daging sapi AS senilai US$2,5 miliar, dengan China menjadi tujuan ekspor terbesar ketiga bagi… pic.twitter.com/18hdWB1o3W
— Faktacom (@Faktacom_) April 19, 2025
Meskipun bea masuk dianggap akan menguntungkan produsen panel Surya AS, tarif tersebut juga akan menekan pengembang energi terbarukan AS yang telah lama bergantung pada pasokan asing yang murah.
Menurut BloombergNEF, AS mengimpor peralatan surya senilai $12,9 miliar tahun lalu dari empat negara yang akan dikenai bea masuk baru. Jumlah tersebut mewakili sekitar 77 persen dari total impor modul.
Bea masuk bisa diberlakukan bergantung pada tindakan terpisah oleh Komisi Perdagangan Internasional AS, yang akan memutuskan dalam waktu sekitar satu bulan mendatang apakah produsen dirugikan atau terancam oleh tarif impor tersebut. (Bloomberg/Fortune)